Selasa, 17 Februari 2009

"Merenungi Makna Pengabdian"

(Pengantar: Artikel berikut tentang manajemen sumber daya manusia. Sumber daya manusia harus dikelola, termasuk dibangkitkan komitmen dan pengabdiannya)
Oleh: Dr. Dwi Suryanto, Ph.D. www.pemimpin-unggul.com
Tanpa sengaja saya menemukan buku lama milik saya yang berjudul “Setiap Jalan Bertaburan Emas” karangan Kim Woo Choo, pendiri perusahaan Korea, Daewoo.
Sungguh benar kata orang bijak, kalau ilmu makin kita dalami, selalu saja kita bisa menemukan sisi-sisi baru dari pemahaman kita.
Dulu buku itu saya baca tahun 1997, waktu itu gagasannya yang benar-benar masuk ke sanubari saya adalah “bahwa jika seorang muda sudah kehilangan mimpinya, maka tidak ada artinya dia jadi orang muda. Para pemimpi adalah pembentuk sejarah…”
Sekarang setelah saya baca (6 tahun kemudian), materi yang menyentuh pemikiran saya adalah bagaimana dia dengan tekun berjuang memajukan bangsa Korea.
Waktu itu Korea Selatan yang habis kalah perang, pendapatan per kapita sebesar 60 dolar Amerika. Sekarang sudah mencapai 5.000 US$ setahun tiap penduduk.
Dia bekerja dan bekerja terus. Dia menikmati bekerja, bukannya untuk menumpuk harta, tapi untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu mengangkat bangsa Korea Selatan menjadi bangsa yang maju. Seperti kita tahu, Korea Selatan sekarang telah menjadi bangsa yang hebat yang sejajar dengan negara maju lainnya.
Satu hal yang menarik waktu dia mengatakan, “Waktu saya punya perusahaan yang pertama (pegawai hanya 5 orang), saya punya mimpi yang besarnya lebih besar dari alam semesta ini.”
Inilah kutipan yang sederhana namun maknanya dalam “…yang penting, curahkan dedikasi anda sepenuhnya pada apa pun yang sedang anda kerjakan. Anda jika anda bisa mendedikasikan diri untuk kepentingan masyarakat, itu sudah cukup (hal 10).”






Pengabdian kepada masyarakat…kalimat ini nampaknya mulai jarang kita dengar di masyarakat kita yang amat mendewakan harta benda. Dulu waktu kecil saya suka menonton Ketoprak (kesenian semacam drama bahasa Jawa yang berlatar belakang sejarah). Di situ sang raja yang ingin meminang gadis untuk dijadikan selir yang ke sekian puluh, selalu menawarkan kepada si gadis, “Ayolah Diajeng, jangan kamu cinta pada pemuda miskin itu. Walau ia ngganteng, tapi hidupnya susah. Mari kawin dengan aku, nanti aku beri raja brana (harta benda) yang banyak.”
Saya sangat membenci raja itu yang sudah beristri puluhan kok masih ingin meminang gadis. Dan begitu gadis itu menolak lamaran itu, saya bersorak…bagus, apa artinya raja brana…
Sekarang kondisinya lain. Raja Brana amat menyilaukan. Jika di jaman kerajaan hanya berupa emas, permata dan kuda pilihan, sekarang harta itu dalam ujud Merci seri S, BMW seri 7. Dan jika motor, ujudnya Harley Davidson seri Sporter 1.200 cc.
Sekarang ini sarana pemenuhan “nafsu ketamakan” amat beragam. Jika kita orangnya alim, merasa terpelajar, pasti tidak tergoyah jika hanya dihibur dengan hiburan malam dan aksesorisnya. Tapi begitu ditawari ke luar negeri seperti ke Paris atau Monaco untuk nonton balap Formula One dan menginap di hotel Du Paris, pasti kita segera berangkat.
Dengan godaan materialisme yang amat tinggi ini, tentu sangat logis jika kita semua sangat mendewakan materi untuk mendongkrak gengsi, martabat dan lambang sukses kita.
Karena kondisinya seperti itu, maka kita amat jarang mendengar orang yang berpikir untuk bangsa kita. Kita cukup dengan berdalih, “negara sudah ada yang memikir, mengapa repot…?”
Baiklah kalau kita bicara negara, biarlah orang lain yang memikir. Tapi kalau perusahaan tempat kita bekerja, siapa yang memikir? Direksi, GM, Manajer atau kita semua?
Saya memandang kita semualah yang ikut memikirkan kelangsungan hidup perusahaan kita. Tentu kita tidak bisa menghibur diri dengan mengatakan, “Nggak mungkinlah perusahaan kita bangkrut, wong, pasar kita begitu kokoh.” Tapi kita lupa betapa banyak perusahaan yang tadinya tangguh, kokoh, akhirnya bangkrut. Ingin contoh? PTDI, Bank-bank swasta seperti BHS Bank, Bank Duta, Sempati...Ketika sedang jaya-jayanya, hampir orang-orang pintar di negeri ini ingin bisa bekerja di perusahaan itu. Sekarang? Tinggal kenangan kelabu, termasuk istri saya yang juga dulu karyawan BHS Bank...
Mungkin kita bisa menghibur begini, “Biarin saja perusahaan ini bangkrut. Kalau benar bangkrut, toh aku dengan mudah bisa kerja di tempat lain…”
Jangan begitu…di luaran sana, mencari kerja tidaklah mudah. Ketika saya menjadi direktur di Jakarta dan perusahaan itu mengumumkan perekrutan tenaga marketing di Jawa Barat, berapa yang mendaftar? 600 orang, padahal hanya akan direkrut 2 orang. Ketika ingin merekrut tenaga kontrak pemasaran…Ingin tahu berapa yang mendaftar? Sangat banyak, termasuk dari India, dan banyak yang bergelar S-2.
Di dunia kerja swasta, menempa dan menggembleng diri terus menerus adalah norma yang wajar. Menambah kursus ketrampilan, kemahiran atau melanjutkan pendidikan lebih tinggi adalah “rule of the game” yang amat biasa mereka mainkan. Siapa yang tidak mengembangkan diri terus menerus, akan ketinggalan kereta...
Solusinya? Mari kita bergotong-royong ikut memajukan perusahaan yang kita cintai ini.






Konkritnya bagaimana? Ada konsep yang dinamakan dengan “Integrative thinking” di mana konsep itu berusaha mencari kaitan antara pekerjaan yang kita kerjakan, harus dicari kaitannya dengan upaya penaikan pendapatan atau penurunan biaya. Contoh, untuk pegawai di loket, sudah jelas mereka mencari uang.
Untuk pegawai di bidang kesehatan bagaimana kaitannya? Dengan integrative thinking, dibuat gambaran / grafik yang menggambarkan kaitan pekerjaan itu dengan pendapatan atau biaya. Misalnya, dengan pelayanan kesehatan yang prima dan ikhlas, mengakibatkan karyawan sehat walafiat dan mampu bekerja dengan giat. Bahkan bagian kesehatan itu mungkin melakukan riset sedikit sehingga mampu memberikan ramuan yang membuat karyawan tidak mengantuk atau menjadikan karyawan mampu bekerja keras dalam waktu yang lebih lama.

Jadi yang mestinya kita lakukan pada tempat kerja adalah mencari kaitan antara pekerjaan kita dengan keuntungan atau penghematan biaya. Jika ternyata pekerjaan kita tidak ada kaitannya…maka kita selama ini hanya makan gaji buta. Mengapa demikian? Ya karena perusahaan ada karena memang untuk mencari keuntungan. Jika tidak mencari keuntungan, maka namanya lembaga sosial dan integrative thinking tidak berlaku.
Mengapa harus melakukan integrative thinking? Karena itu untuk menyadarkan kita secara jelas apa sumbangsih kita kepada perusahaan. Sungguh sangat masygul kedengarannya ketika kita tidak mampu secara meyakinkan menerangkan kaitan pekerjaan kita dengan pendapatan atau pengurangan biaya.
Dari uraian di atas, maka sebaiknya kita melakukan dua hal: pertama, memikirkan kembali apa yang telah kita sumbangkan untuk perusahaan, dan kedua menggambar bagan integrative thinking dari pekerjaan kita.
( Sumber Internet)

Tidak ada komentar: