Rabu, 03 September 2008

Membuka Dialog Diri

Membuka Dialog Diri
Oleh: Ubaydillah, AN
Jakarta, 28 Agustus 2003
Kemajuan peradaban selalu menawarkan ruang dialog untuk mencegah terjadinya konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan konsep atau persepsi. Ruang dialog itu dimaksudkan sebagai upaya menjembatani kompromi (kesepakatan sinergis) dari gap atau perbedaan. Ketika dialog menemui jalan buntu, maka kemungkinan yang paling dekat adalah gap komunikasi psikologis yang membikin kita tidak produktif atau lebih parah lagi konflik fisik seperti peristiwa di Aceh atau Papua di hari-hari ini. Kalau sudah terjadi konflik fisik, maka yang muncul adalah egoisme separatisme, bukan lagi kemaslahatan kedua belah pihak.
Belajar dari peristiwa yang terjadi di Aceh atau Papua, maka dalam skala paling kecil kita pun perlu membuka ruang dialog diri sebelum muncul konflik antara kita dengan diri kita sendiri. Konflik di dalam diri tidak saja menyebabkan separatisme psikologis akan tetapi berdampak pada kerusakan (penyakit) fisik. Juga, separatisme psikologis membuat hubungan kita dengan orang lain mudah tergores oleh ketersinggungan egoisme sebagai refleksi ketidakharmonisan internal. Pepatah bijak bilang: “ Penderitaan adalah effect dari pikiran yang salah arah sebagai indikasi ketidakharmonisan yang terjadi di dalam diri seseorang”.
Media Dialog
Media yang sudah lazim digunakan dalam dialog-diri adalah meditasi. Ada sekian cara yang dapat ditempuh untuk menjalani meditasi mulai dari yang diajarkan agama, tradisi atau pengetahuan tertentu (the art) seperti seni bela diri, dll. Tetapi cara meditasi yang paling ampuh (powerful) adalah cara yang kita temukan sendiri dan bebas dari lalu-lalang aturan formalitas dan kode konformitas. Sendiri di sini memiliki konotasi ‘penjiwaan personal’. Dari praktek yang sudah umum, meditasi dapat didefinisikan sebagai upaya menciptakan sarana menarik diri (baca: membebaskan-diri) dari hambatan yang membuat kita terasing dengan diri kita.
Tak pelak lagi, keterasingan demikian telah menyebabkan sensitivitas diri (self sensitivity) seseorang menjadi tumpul. Tidak dapat merasakan apa yang sedang terjadi di dalam dirinya dan apa akibat yang dapat dimunculkan oleh pikiran, perasaan dan keyakinan tertentu. Tidak dapat mengidentifikasi bagaimana sesuatu terjadi dengan label masing-masing. Ketumpulan sensitivitas juga mengakibatkan orang tidak bisa mendengar apa yang disebut “inner critic” (baca: suara hati kecil). Orang lebih memedomani interpretasi permukaan yang salah akibat intuisi yang dimiliki tidak beroperasi.
Keterasingan dengan diri juga akan merenggut kenikmatan relaksasi mental padahal relaksasi mental adalah obat mujarab yang sudah dipraktekkan oleh sebagian orang berprestasi untuk mengundang inspirasi ketika kejumudan (Blokade Mental) melanda, sekaligus sebagai sarana mengundang ide kreatif / inovatif ketika kebosanan menyerbu. Sejarah mencatat, Edison adalah pakar praktisi relaksasi di mana dalam waktu 15 menit menjalani relaksasi, Edison sudah menemukan ide baru. Kecepatan Edison itu tidak bisa dipisahkan dari intensitas, kuantitas dan kualitas relaksasi sebagai latihan mental. Relaksasi mental juga digunakan Einstein untuk bervisualisasi sehingga dirinya sampai pada kesimpulan: “ Fantasi atau imajinasi lebih bekerja di dalam dirinya ketimbang ilmu pengetahuan”.
Relaksasi yang telah direnggut oleh kebiasaan hidup yang dinamakan oleh Covey dengan istilah ‘keracunan urgensitas’ (the-must-do-activity) membuat diri kita bagaikan tong sampah dari masalah (problem). Di mana-mana timbul masalah. Di rumah bermasalah, di kantor bermasalah, di jalan pun bermasalah. Akibat sekian banyak masalah yang menyiksa akhirnya kita merasakan kelelahan mental dan tidak punya waktu lagi untuk bercengkrama dengan diri sendiri. Padahal seperti pepatah bilang, “Tak kenal maka tak sayang”.
Keterasingan juga membuat kita kehilangan peluang untuk mengekspansi wilayah yang selama ini membatasi diri kita. Wilayah di sini lebih tepat dikatakan keyakinan yang dalam ungkapan lain disebut-sebut sebagai sumber arus (akar motif). Orang tidak dapat berbuat melebihi dari keyakinannya sebab perbuatan adalah aliran arus. Meditasi dapat berperan sebagai upaya menggali keyakinan yang telah terkubur di dalam lumpur yang dapat digunakan untuk mengubah diri.

Perlu diakui bahwa semua orang ingin mengubah-diri menjadi lebih baik. Hari ini lebih baik dari kemarin dan esok hari seharusnya lebih baik dari hari ini. Namun mengapa akhirnya tidak semua orang berhasil menjadi lebih baik? Salah satu penyebabnya adalah karena program perubahan diri yang dirancang kurang mengakar pada sumber arus. Artinya bisa jadi perubahan yang terjadi hanya karena ikut-ikutan atau didorong oleh motif permukaan yang sifatnya hanya mengikuti trend sementara. Program perubahan diri yang tidak (kurang) berakar pada motif pokok diibaratkan seperti orang malas yang tidak bergerak kalau tidak dipecut sehingga dirasakan berat sekali (beban). Bisa dibayangkan, sudah dirasakan beban ditambah lagi mengalami kegagalan. Akhirnya membuat orang malu atau putus dengan coretan agenda-diri yang tidak pernah berhasil.
Selain dapat menghilangkan keterasingan, meditasi juga merupakan sarana mengkukuhkan definisi-diri tentang “who we are”. Selama ini definisi yang kita buat bergantung pada aktivitas, pekerjaan, atau pada definisi yang disodorkan oleh orang lain. Aktivitas, pekerjaan dan kondisi eksternal adalah variabel yang sarat dengan perubahan dan kalau hal demikian kita jadikan patokan untuk mendifinisikan who we are, maka konstruksi definisi-diri kita menjadi compang-camping tak berbentuk. Difinisi diri adalah ungkapan prinsip keyakinan (value), visi, dan tujuan yang terkadang perlu kita pisahkan (baca: selamatkan) dari hiruk-pikuk realitas temporer.
Dengan sekian alasan yang diuraikan di atas, maka meditasi seharusnya jangan kita gunakan hanya sebatas sarana untuk menghasilkan daftar dosa, kesalahan masa lalu, atau hukuman diri lainnya yang akan menyebabkan kita membuat kompensasi kebablasan dan mendorong pada rasa takut untuk berbuat. Meditasi adalah ruang memperkuat keinginan untuk memperbaiki diri (re-programme) guna mendekatkan se-obyektif mungkin antara diri yang kita persepsikan (perceived self), diri yang ideal (ideal self) dan diri yang riil (the real self). Ketidakdekatkan ketiga diri tersebut telah membuat kita mudah terperosok dalam lorong diri yang gelap - self-deceived (Carter McNamara: 1999).
Isi Dialog
Tak ubahnya seperti dialog yang terjadi antara RI & GAM. Di dalam dialog-diri harus tercipta situasi tanya jawab tanpa konsekuensi pada judgment. Tanya jawab itulah yang sering dikenal dengan istilah self questioning, yaitu upaya menyodorkan sejumlah pertanyaan kepada diri kita. Telah sejak lama diakui, pertanyaan memiliki implikasi psikologis tertentu yang dapat digolongkan menjadi implikasi killer (pembunuh) atau implikasi miracle (mukjizat). Perbedaan keduanya, implikasi killer diperoleh dari pertanyaan destructive yang mengarah pada jawaban tanda seru (self-defeating), irrational thinking model untuk mendatangkan masa lalu, atau IF – clause thinking dalam menyikapi masa depan.
Untuk memahami lebih jauh tentang pertanyaan yang mengandung implikasi killer adalah ketika orang bertanya kepada dirinya (sadar / tidak sadar): “Kenapa saya dilahirkan tidak seberuntung orang lain?”. Kata ‘kenapa’ di sini tidak memiliki jawaban yang rasional. Selain itu, ‘kenapa’ malah menambah rasa putus asa, powerless, hopeless, dan dapat membunuh proses nalarisasi, ekplorasi-diri untuk menemukan keunggulan. Pendek kata, killer adalah pertanyaan yang jawabannya tidak mendorong kita untuk meraih solusi atau mendapatkan potret definisi-diri yang lebih baik dan lebih maju. Pertanyaan itu bisa berbentuk variatif yang secara tidak sadar telah kita jadikan acuan / pedoman hidup.
Lebih-lebih kalau pertanyaan itu diambil dari pernyataan / ungkapan orang lain yang berbau pengadilan negatif tentang diri kita. Rasanya seperti tulisan yang terukir di atas batu. “ The most damaging phrase in the language is “ It’s always been done that way”, kata Grace Hoper. Perkataan itu menggambarkan seseorang yang bertanya kepada dirinya / orang lain tentang sebuah maksud tertentu, lalu mendapat jawaban tanda seru: “Sudah pernah dilakukan dan hasilnya gagal!”
Implikasi miracle diperoleh dari pertanyaan constructive yang akan mendatangkan jawaban untuk menarik solusi. Kalau orang sehabis mengalami kegagalan lalu bertanya kepada dirinya, “Tindakan apalagi yang lebih cerdas untuk dilakukan”, maka pertanyaan itu memiliki bobot psikologis yang mendorong orang tersebut untuk menjalani eksplorasi dari apa yang sudah diketahui atau belum diketahui (evolusi-diri). Umumnya, para pencipta prestasi besar dan kecil di alam raya ini tidak dapat dipisahkan dari upaya mengasah kemampuan mempertanyakan sesuatu untuk menjalani langkah inovatif dan kreatif.
Meditasi yang kita jalani dengan mengisi tanya jawab tentang kita dan dengan kita (self questioning) selain dapat mencairkan kebekuan dan memperkokoh definisi, pun juga dapat mempertajam kontrol-diri di mana kita akan secara otomatis dididik oleh kebiasaan untuk mengganti (to substitute) muatan negatif menjadi positif, atau melawan (to challenge) muatan negatif supaya kalah, atau membuat affirmasi (to affirm) muatan positif.
Sayangnya, kita dan sistem sosial yang kita masuki cenderung berorientasi pada jawaban. Kalau kita ditanya mengapa kegagalan menimpa, maka hampir dapat dipastikan jawabannya adalah menyangkut ketersediaan modal / alat. Memang jawaban tersebut tidak berarti salah tetapi ada logika hidup yang hilang di sini. Ketersediaan modal (perangkat) adalah jawaban pencapaian (achievement) dari pertanyaan yang mendorong seseorang untuk meraihnya. Kalau pertanyaannya justru menutup, menghalangi, tanda seru, maka jawaban itulah yang akan menjadi pertanyaan dan membentuk lingkaran setan pertanyaan. Kalau kita renungkan, ternyata jawaban dari seluruh persolan hidup yang kita miliki sekarang ini adalah hasil dari pertanyaan yang kita ajukan di masa lalu. Selamat merenungkan. (jp)
( Sumber Internet )

Permusuhan Batin

Permusuhan Batin
Oleh: Ubaydillah, AN
Jakarta, 5 Januari 2006

Kehilangan Perspektif
Praktek hidup sedikitnya mengenal dua bentuk permusuhan, yaitu permusuhan lahir / fisik (fisik dalam arti kelihatan dan fisik dalam arti kekerasan dengan menggunakan “okol”) dan permusuhan batin / non-fisik atau bentuk permusuhan yang tidak kelihatan secara nyata. Bentuk permusuhan pertama memang perlu juga diwaspadai tetapi ini biasanya terjadi dengan sepengetahuan kita. Di samping itu, ada banyak instrumen eksternal yang membantu kita untuk meredamnya dan kalau dilihat dari sisi jumlah secara keseluruhan, memang agak terbatas.
Bentuk permusuhan yang terkadang kita lakukan di luar pengetahuan dan kesadaran kita dan tidak ada instrumen eksternal yang membatasinya serta jumlahnya tak terbatas adalah bentuk permusuhan kedua yang terjadi antara kita dengan orang yang hampir setiap hari kita ajak berinteraksi, entah itu soal pekerjaan, sekolahan, keluarga dan lain-lain. Mungkin inilah satu dari sekian “dark-side” (sisi buruk) dari hubungan yang dekat. Karena itu, ada pesan yang patut kita renungkan tentang hubungan yang dekat, yaitu: jangan-jangan hubungan kita itu hanya “diduga” bersatu padahal bersiteru, jangan-jangan hanya kelihatannya saja kita ini akrab padahal tidak, jangan-jangan hanya di luarnya saja baik tetapi di dalamnya tidak, dan seterusnya.
Bagaimana ini terjadi? Ada yang perlu kita jadikan semacam rujukan yang bisa menjelaskan tentang bagaimana asal-usul permusuhan batin itu muncul di dalam diri kita. Kalau merujuk pada hasil kajian Hawk Williams (The essence of managing group & teams, 1996), kira-kira asal-usul itu bisa dijelaskan sebagai berikut:
§ Ada problem yang kita jumpai (menurut versi kita) pada diri orang lain
§ Kita membiarkan / tidak menunjukkan problem itu kepada orang yang kita anggap punya masalah dengan kita
§ Problem itu tetap muncul atau terus bertambah
§ Perasaan negatif terus menggunung / mengakumulasi)
§ Kita kehilangan perspektif tentang orang itu.

Itu hanya salah satu dari sekian proses atau asal-usul yang bisa dijelaskan di sini. Intinya, apa yang bisa kita pahami tentang permusuhan batin dalam praktek hidup itu adalah ketika kita sudah kehilangan perspektif atas orang lain sebagai akibat dari akumulasi perasaan atau penilaian negatif. Kita hanya mampu melihat hal yang jelek-jeleknya saja atau hal-hal yang pantas dimusuhi saja atau malah kita kehilangan keadilan dalam menilai.
Mengapa Perlu Diwaspadai ?
Jika ini dikaitkan dengan upaya kita untuk meningkatkan prestasi di bidang pilihan kita, entah itu pekerjaan, usaha, akademik, dan lain-lain, maka ada sedikitnya tiga alasan mendasar yang layak untuk diingat, yaitu:
1. Sasaran fokus
Kalau dipukul rata bisa dikatakan bahwa semua orang yang pergi ke tempat kerja, ke sekolah / kampus atau ke tempat usaha, memiliki tujuan yang bagus, dari mulai mencari nafkah, mencerdaskan diri, meningkatkan prestasi dan seterusnya. Namun sayang dalam prakteknya, fokus kita melenceng pada orang yang tidak kita suka / kita musuhi, bukan pada sasaran utama kita – untuk mengejar cita-cita. Akibatnya, sasaran kita jadi terlantar.
Ada saatnya untuk patut curiga, jangan-jangan ketidak-optimalan kita mencapai sasaran itu bukan karena kita tidak mampu tetapi karena kita jarang memikirkannya. Jangan-jangan pikiran kita lebih sering kita gunakan mengurusi orang lain yang kita musuhi ketimbang orang lain yang baik sama kita. Secara umum mungkin kita perlu menjadikan ungkapan Robert McKain sebagai bahan renungan: “Alasan mengapa kita sering gagal, karena kita telah menggunakan waktu kita untuk mengerjakan hal-hal yang kurang utama bagi sasaran kita.”
Menurut pengalaman Bruce Lee, mewujudkan sasaran atau tujuan, menuntut upaya batin dalam mengerahkan fokus pada sasaran seperti sinar laser. Fokus pada sasaran seperti sinar laser ini bukan hanya akan membuat kita melupakan permusuhan batin yang kita buat sendiri, melainkan bisa membuat kita terkadang lupa sarapan, seperti yang diungkapkan oleh Charles Schewabb.
2. Praktek Reaktif
Kalau boleh didefinisikan, praktek reaktif adalah tindakan yang didasari oleh dorongan eksternal (stimuli) yang tidak lagi kita saring menurut tujuan, sasaran, atau kebutuhan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sering dicontohkan bahwa di sana ada banyak orang yang membangun rumah atau membeli barang-barang rumah tangga bukan karena memang itu dibutuhkan tetapi karena tetangganya membeli.

Jika dijelaskan menurut Teori Logika, praktek demikian lahir dari keputusan reaktif yang biasanya didorong oleh keinginan asal-beda, asal tidak kelihatan kalah, supaya bisa kelihatan lebih unggul dari orang lain, dan lain-lain. Menurut Teori itu, keinginan demikian sangat berpotensi melahirkan keputusan yang salah dalam praktek atau minimalnya (meminjam istilah Stephen Covey) melahirkan kebiasaan hidup tidak efektif. Kita melakukan sesuatu bukan atas dasar tujuan, sasaran, kebutuhan, keinginan dan keuntungan kita, melainkan atas keinginan supaya bisa mengalahkan atau supaya tidak kelihatan kalah. Praktek demikian tentu sulit dipisahkan dari permusuhan batin yang kita buat sendiri.
Harus diakui bahwa terkadang keinginan demikian sulit dihindari dan mungkin terkadang dibutuhkan.Tetapi jika kadarnya sudah berlebihan dan kita menempati posisi sebagai pihak yang dikuasai hawa nafsu, maka dampak buruk tak dapat dielakkan.
Kita diajarkan untuk memasuki wilayah persaingan (kompetisi) karena di sini merupakan wadah mengasah keunggulan. Tetapi yang tidak boleh kita lakukan adalah permusuhan atau persaingan yang tidak sehat (kongkurensi, to conquer, menaklukkan).
3. Burn-out
Merujuk pada penjelasan Henry Neil dalam “13 Signs of Burnout and How To Help You Avoid It “ (IAN, International Assessment Network and MAPP: 2003), Burn-out adalah virus yang menyerang kita sampai membuat kita kehilangan motivasi, kehilangan inspirasi, dan kehilangan jurus dalam beraksi, "missing-action", entah itu berkaitan dengan karir, usaha, olahraga atau kegiatan akademik.
Apa yang menyebabkan kita terkadang seperti seorang penyair yang kehabisan kata-kata? Tentu sebab-sebabnya tidak bisa didetailkan satu persatu dalam tulisan tetapi salah satunya yang perlu diaudit adalah adanya bentuk permusuhan batin yang tidak kita hentikan atau yang kita biarkan. Karena itu Danien Goleman yang kita kenal telah banyak menaruh perhatian di bidang Kecerdasan Emosional menjelaskan bahwa orang yang menolak mencerdaskan emosinya akan mendapatkan dampak buruk yang antara lain adalah (Emotional Intelligence And You, Doug Gray, Action Learning Associates, Inc. 2001 - 2005 ):
a. Mudah dibikin kalut oleh perubahan buruk
b. Kurang mampu bekerjasama, mudah patah dalam menjalin hubungan dengan orang lain
c. Sering terputus hubungan dengan diri sendiri akhirnya gampang kalap

d. Mudah terserang virus yang bernama "burn-out"
e. Mudah terkena "over" antara: mudah kebablasan atau terlalu hati-hati)
Harus diakui memang bahwa untuk memiliki kemampuan memfokus pada tujuan seperti sinar laser, untuk membiasakan praktek proaktif, dan untuk melangkah secara lancar (tanpa burn-out), tidak bisa diwujudkan dengan hanya menghilangkan permusuhan batin semata tetapi ketika permusuhan batin ini tidak kita hentikan, maka keberadaannya akan mengganggu fokus, kelancaran dan praktek kita.
Pembelajaran
Satu dari sekian jurus yang bisa kita pilih untuk menghentikan permusuhan batin adalah berikut ini:
1. Cepat mengingat / menyadari tujuan
Prakteknya sering membuktikan bahwa tujuan itu tidak cukup hanya diingat sekali atau hanya ditulis sekali di agenda. Banyak praktek yang menyimpang dari tujuan hanya disebabkan oleh faktor lupa dalam arti tidak sadar atau tidak “eling”. Karena itu banyak pakar SDM yang menyarankan agar kita menulis tujuan itu di tempat-tempat yang sering kita lihat, seperti di buku agenda, di file komputer atau di meja kerja. Bahkan ada yang menyarakan supaya tujuan itu diungkapkan dalam bentuk gambar agar otak kanan kita juga bisa bekerja dan mudah diingat.
2. Membuat pembatas (personal boundaries)
Satu hal yang perlu disadari bahwa kalau kita melihat permusuhan batin ini dari sisi orang lain, tentulah tidak akan ada habisnya. Ada beberapa hal dari orang lain yang bisa kita kontrol atau bisa kita cegah atau bisa kita ajak kompromi untuk menghindari permusuhan batin tetapi ini tidak mungkin semuanya.
Karena itu, yang bisa kita lakukan adalah membuat pembatas di dalam diri kita yang menjelaskan tentang apa saja dari orang lain yang bisa kita beri toleransi, apa saja yang tak penting untuk dipikirkan atau diurusi, dan apa saja yang perlu dibicarakan. Membuat pembatas ini bukan untuk membatasi orang lain tetapi untuk membatasi diri kita sendiri agar jangan sampai sedikit-sedikit kita terpancing untuk bermusuhan secara batin dengan standar dan alasan yang tidak jelas dan tidak substansial.
3. Mengedepankan manfaat (advantages)
Kerapkali terjadi bahwa salah satu faktor yang memperpanjang durasi permusuhan, entah itu lahir atau batin, adalah karena cara berpikir kita yang dualisme, siapa yang benar dan siapa yang salah. Lebih-lebih lagi, meminjam istilah Paulo Coelho, ketika keduanya sama-sama merasa mendapatkan dukungan dari Tuhan.
Kalau kita sudah bicara siapa, maka di dunia ini siapa yang paling benar adalah kita dengan seperangkat alasan yang kita miliki dan begitu juga dengan orang lain. Karena itu Stephen Covey pernah menjelaskan bahwa jika siapa yang benar itu diadu antara milik kita dengan milik orang lain, maka yang terjadi adalah permusuhan, perang, dan pertahanan egoisme kebenaran-sendiri.

Untuk mengatasi hal ini maka salah satu pilar peradaban manusia mengajak kita untuk menggunakan pola berpikir yang berasaskan pada “apa manfaatnya” atau “apa yang benar” bukan “siapa yang benar”. Apa yang benar adalah “the best” sedangkan siapa yang benar adalah “the good”. Seringkali yang menghalangi kita mendapatkan the best adalah karena kita lebih sering mempertahankan the good menurut versi kita.
( Sumber Internet )

Mengeksplorasi Bakat Secara Mandiri

Mengeksplorasi Bakat Secara Mandiri
Oleh: Ubaydillah, AN
Jakarta, 17 April 2006

Bentuk – bentuk Bakat
Seandainya ada polling yang menanyakan tentang masalah apa saja yang dihadapi orang remaja-dewasa, boleh jadi masalah menemukan bakat termasuk yang populer, selain masalah stress akibat putus cinta atau masalah strategi menggaet calon kekasih. Menurut hasil renungan Dale Carnegie, yang diresahkan oleh manusia di dunia ini adalah dua hal. Pertama, manusia selalu resah tentang sebutan apakah yang nanti akan saya sandang sebelum mayat saya dikebumikan. Apakah saya seorang dokter, pengusaha, penulis, pegawai, wanita karir, dosen, guru, presenter, atau apa ya….?
Kedua, manusia resah tentang siapakah pasangan saya nanti? Manusia model seperti apakah yang akan menjadi ayah atau ibu dari anak saya? Apakah jodoh saya nanti orang yang baru saya kenal ataukah orang yang sudah saya kenal sebelumnya? Resah di sini punya pengertian bukan bingung atau sedih, tetapi resah dalam arti sebuah kondisi batin yang dihasilkan dari munculnya tanda tanya yang selalu mendorong kita untuk menemukan jawabannya.
Nah, kembali pada soal bakat, sebenarnya apa sih bakat itu? Apakah saya punya bakat? Makhluk semesterius apa sih bakat itu? Dimana bakat saya? Bagaimana cara menemukannya? Kepada siapa sebetulnya saya harus bertanya tentang bakat saya? Dan seterusnya.
Sebelum kita membahas pertanyaan-pertanyaan semacam di atas, saya ingin mengatakan bahwa bakat menurut penjelasan teoritisnya memang punya wilayah bahasan yang cukup luas. Di dalam literatur ilmiah, ada istilah talent, ada istilah giftedness, ada istilah traits, ada istilah intelligence seperti dalam “multiple intelligence, aptitude, dan seterusnya. Selain harus berurusan dengan istilah-istilah yang mungkin tidak dimengerti bagi kebanyakan orang, pun juga tidak semua orang “boleh” memberikan penilaian tentang bakat seseorang. Hanya bagi orang-orang yang sudah bersertifikat di bidang ini yang “disahkan” memberikan penilaian.

Tetapi, bakat dalam pengertian bahasa atau dalam pengertian yang umum kita pahami, adalah kelebihan / keunggulan alamiah yang melekat pada diri kita dan menjadi pembeda antara kita dengan orang lain. Kamus Advance, misalnya, mengartikan talent dengan “natural power to do something well.” Dalam kamus Marriam-Webster’s, dikatakan “natural endowments of person.” Dalam percakapan sehari-hari kita sering mengatakan si anu berbakat di nyanyi, di bisnis, di IT dan seterusnya.
Rupanya, bakat dalam pengertian kedua ini juga dipakai oleh Thomas Amstrong, pakar pendidikan dari Harvard University yang sering berkolaborsi dengan Howard Gardner dalam membahas kecerdasan. Dalam tulisannya, Little Geniuses, yang pernah diterbitkan majalah Parenting (1989), ia menjelaskan, bakat manusia bisa muncul dalam berbagai bentuk. Perhatikan daftar kemampuan (ability) di bawah ini lalu deteksi mana yang paling kuat di dalam diri Anda:
Acting Ability (akting / gerakan)
Adventuresomeness (kepetualangan)
Aesthetic perceptiveness (estitika)
Artistic Talent (artistik)
Athletic prowess (ke-atlit-an)
Common sense (pengetahuan umum)
Compassion (peduli orang lain, mudah tersentuh)
Courage (keberanian)
Creativity (kreativitas)
Emotional maturity (kematangan emosi)
Excellent memory (kehebatan menyimpan data / menghafal)
Imagination (imajinasi)
Inquiring mind (keingintahuan)
Intuition (intuisi)
Inventiveness (daya cipta, penemuan)
Knowledge of a given subject (Pengetahuan spesifik)
Leadership abilities (kepemimpinan)
Literary aptitude (bakat kesastraan)
Logical-reasoning ability (kemampuan berlogika)
Manual dexterity (ketangkasan manual / ketrampilan tangan)
Mathematical ability (kemampuan matematis)
Mechanical know-how (penguasaan mekanis)
Moral character (karakter moral)
Musicality (permusikan)
Passionate interest in a specific topic (kegairahan mengikuti / mendalami topik tertentu)
Patience (kesabaran)
Persistence (ketangguhan)
Physical coordination (kerapian fisik)
Political astuteness (kelihaian berpolitik)
Problem-solving capacity (kemampuan menghadapi masalah)
Reflectiveness (kemampuan merefleksikan)
Resourcefulness (kepandaian mengatasi masalah)
Self-discipline (disiplin-diri)
Sense of humor (naluri melucu)
Social savvy (pemahaman sosial)
Spiritual sensibility (ketajaman spiritual)
Strong will (kemauan keras)
Verbal ability (kemampuan mengungkapkan secara verbal)
Daftar di atas baru sebagian dari sekian. Masih banyak kemampuan alamiah manusia yang belum atau tidak bisa dijabarkan. Dan lagi, kalau kita perhatikan praktek hidup, amat sangat jarang ada orang yang hanya diberi satu kemampuan dari daftar di atas. Dalam diri setiap manusia ada sekian kemampuan dari daftar di atas. Orang yang hebat di bidang IT tidak berarti hanya dibekali kemampuan tekun dalam meng-otak-atik komputer. Ia juga punya kemauan keras, punya disiplin, kreatif, mau mempelajari hal-hal baru dan seterusnya. Seorang tokoh agama tidak berarti hanya dibekali kemampuan spiritual sensibility saja. Ia juga punya kemampuan lain yang mendukung keunggulannya, seperti verbal, sosial, dan lain-lain.
Hal lain yang perlu kita ingat adalah penjelasan Dr. Sternberg, pakar Psikologi dari Yale University (Practical Intelligence, John Meunier, Fall, 2003)). Selama bertahun-tahun mengkaji kemampuan manusia, ia berkesimpulan bahwa kemampuan manusia itu bukanlah sebuah kemampuan yang sifatnya sudah baku pada satu bentuk atau titik tertentu (not fixed ability), tetapi sebuah kemampuan yang sifatnya terus berkembang (developing abilities).
Antara potensial & Aktual
Untuk meng-aktual-kan energi potensial itu dibutuhkan pembangkit, pengolahan atau pendeknya bisa disebut proses aktualisasi. Proses aktualisasi seperti apa saja yang bisa kita lakukan? Di bawah ini saya mencoba mendaftar proses yang bisa kita lakukan berdasarkan temuan ilmiyah para ahli atau juga pengalaman orang lain yang sudah menemukannya:
1. Hasrat sejati (inner calling)
Di sini yang perlu kita lakukan adalah menemukan keinginan-keinginan yang selalu mendorong kita untuk meraihnya atau melakukannya. Konon, di setiap diri manusia sudah dipasang semacam stasiun radio yang selalu menyuarakan dorongan kepada kita untuk melakukan sesuatu yang sifatnya sangat spesifik. Inilah yang disebut hasrat sejati – yaitu sebuah hasrat yang terus menggelora di dalam diri kita. Supaya hasrat sejati itu teratur dan tersalurkan, cobalah merumuskan dan memperjuangkan tujuan hidup yang sudah kita buat berdasarkan kemampuan kita hari ini. Kesimpulan Mary Lou Retton mengatakan,“Setiap orang memiliki bara api yang menyala-nyala di dalam hatinya untuk meraih sesuatu. Tujuan hidup adalah alat untuk menemukannya dan menjaganya supaya tetap menyala.”
2. Pembuktian diri
Membuktikan diri artinya kita memunculkan ide, gagasan atau keinginan lalu kita memperjuangkannya sampai berhasil. Agar kita tidak terlalu sering gagal, pilihlah yang kira-kira bisa kita lakukan dengan kapasitas yang kita miliki hari ini. Semakin banyak yang bisa kita realisasikan, semakin tahu di mana sebetulnya keunggulan dan kelemahan kita. “Selama Anda belum bisa melihat hasil karya Anda, selama itu pula Anda belum tahu kemampuan Anda”, pengalaman Martine Grime. Biasanya, selama kita belum bisa membuktikan apa yang sanggup kita lakukan (menghasilkan kreasi atau karya), penilaian kita tentang kemampuan kita masih belum akurat. Terkadang kita hanya merasa mampu padahal belum tentu kita memiliki kemampuan. Pembuktian adalah jalan untuk mengetahui apakah kita sudah memiliki kemampuan atau baru merasa mampu.
3. Perbandingan positif

Ini juga bisa kita lakukan. Tehniknya, kita dapat membuat perbandingan antara kita dengan orang lain. Orang lain itu bagaikan cermin buat kita. Mengetahui di mana keunggulan dan kelemahannya, biasanya akan menunjukkan di mana keunggulan dan kelemahan kita. Tehnik melihat dan melakukan sesuatu dengan orang lain (bersinergi atau bekerja sama) inilah yang pernah dilakukan Bruce Lee. Cuma ada satu yang perlu dicatat. Model perbandingan yang kita butuhkan adalah perbandingan positif. Maksudnya, kita membandingkan diri kita dengan orang lain, bukan untuk tujuan yang macam-macam, tetapi murni untuk memperbaiki diri.
4. Pengasahan (Practicing)
Konon, sekitar tahun 1998, tim ahli dari Universitas Exter di Amerika pernah melakukan studi terhadap kehidupan orang-orang berprestasi, seperti Mozart, Picasco, dan macam-macam. Hasilnya, mereka merekomendasikan kepada umat manusia untuk membuang mitos yang selama ini diyakini. Mitos seperti apa yang biasa kita yakini? Kita sering meyakini bahwa orang-orang berprestasi tinggi itu meraih prestasinya karena Tuhan “mengistimewakan” mereka dengan bakat yang dimiliki sementara kita bukan seperti mereka.
Mengapa keyakinan semacam ini disebut mitos? Telaah di lapangan menyimpulkan, ternyata bukan karena bakat semata yang membuat mereka berhasil. Memang benar, mereka meraih prestasi tinggi karena punya bakat, ada peluang, ada dukungan dan ada pelatihan, tetapi faktor yang paling banyak mendukung keberhasilan mereka adalah “practicing” atau mengasah bakat, keunggulan atau kelebihan alamiah yang melekat pada dirinya.
“Orang selalu berkata kepada saya bahwa bakat saya dan kejelian saya yang menjadi alasan kesuksesan saya. Mereka tidak pernah berkata tentang praktek, praktek, dan praktek yang saya jalankan.” (Ted Williams, 1918)
5. Penempatan / penyaluran
Tidak semua keunggulan alamiah itu berada di lokasi yang sangat jauh dari kita sehingga kita perlu mencarinya setengah mati. Ada kalanya bisa muncul dari hobi, kegemaran-kegemaran kecil, kegiatan tertentu yang kita lakukan tanpa beban seperti orang main-main atau dari hal-hal yang sangat dekat dengan kebiasaan kita sehari-hari. Di sini yang dibutuhkan adalah menyalurkan atau menempatkannya pada saluran atau bidang-bidang yang kira-kira menguntungkan kita lalu kita perbaiki dan kita kembangkan.
Sebagai tambahan, saya ingin mengutip hasil telaah dua orang pakar dari dunia yang berbeda. Mudah-mudahan ini juga bisa kita jadikan referensi. Pertama, dari seorang konsultan olahraga yang banyak menggeluti kehidupan atlet, Marie Dalloway, Ph.D, (2000-2004). Ia mensyaratkan adanya lima hal mendasar bagi seorang atlet untuk mengaktualkan bakat potensialnya, seperti berikut:
1. Bakat (Talent)
2. Kemauan keras untuk maju (Steel Will).
3. Dedikasi (cinta pekerjaan atau profesi)
4. Pembinaan dan Latihan
5. Training – diri
Sidney Moon dalam konferensi tahunan kedelapan tentang bakat di Yunani (2002) menjelaskan bahwa supaya bakat seseorang itu muncul dan bermanfaat bagi orang itu (ter-aktualkan), maka ini menuntut tiga hal, yaitu:
1. Kemampuan memahami diri (tahu kelebihan, tahu kelemahan, tahu tujuan, dst)
2. Kemampuan membuat keputusan hidup yang bagus (berpikir positif, ber-aksi positif, bergaul di lingkungan kondusif, dst)
3. Kemampuan menaati disiplin–diri (kemauan, ketekunan, kegigihan, dst)
Harus diakui memang bahwa ada rahasia Tuhan di balik istilah bakat itu. Maksud saya, bakat dalam arti keunggulan alamiah (potensi) memang dimiliki oleh semua orang, tetapi kenyataannya ada orang yang tahu (“ditunjukkan”) harta karunnya lebih dini sementara yang lain tidak. Ada bakat tertentu yang punya nilai sendiri untuk masa tertentu sementara yang lain tidak atau belum. Mengapa ini harus terjadi, tentu kita tidak tahu seratus persennya. Selamat mengeksplorasi bakat Anda.
( Sumber Internet )

Mencintai Pekerjaan

Mencintai Pekerjaan
Oleh: Ubaydillah, AN
Jakarta, 28 September 2004
Konon pada tahun 1998 Wall Street Journal pernah membuka polling untuk menjaring pendapat umum tentang bagaimana orang menerima pekerjaan atau profesi yang saat ini dimiliki. Hasilnya, lebih dari 50 % responden menyatakan akan meninggalkan pekerjaan yang saat ini di tangan apabila (andaikan saja) mereka memiliki kesempatan untuk pindah atau ada peluang untuk ganti pekerjaan / profesi (Warshaw: 1998).
Hasil polling ini meskipun belum tentu mutlak benar atau mungkin belum mewakili pekerja secara keseluruhan, tetapi oleh beberapa pakar pengembangan karir dijadikan petunjuk untuk bahwa ternyata banyak sekali orang yang tidak mencintai apa yang dilakukan, tidak mencintai profesi atau pekerjaan yang saat ini dimiliki. Bagaimana kalau polling itu diadakan di sini?
Kalau kita menggunakan indikator umum (logika matematis) angkanya bisa jadi bertambah. Mengapa? Di negara yang sudah punya kemampuan lebih bagus dari kita dalam melayani kepentingan publik saja masih ditemukan kenyataan seperti itu, apalagi di kita …? Tetapi logika matematis itu bisa jadi patah di lapangan kalau kita bicara urusan perasaan atau kalau kita menggunakan indikator khusus yang disebut paradoks kemajuan.
Contoh dari paradok itu misalnya saja belum tentu kalau orang yang punya banyak uang itu lebih bahagia dengan orang yang punya uang sedikit, meskipun kalau kita tidak memiliki uang, kebahagian itu juga terancam. Belum tentu juga orang yang hidup di negara maju bisa dipastikan lebih bahagia dengan orang yang hidup di negara berkembang.

Terlepas dari sejumlah kemungkinan itu, namun ada yang masih bisa kita pastikan bahwa baik di Amerika dan di Indonesia, tetap akan ada sekelompok orang yang merasa tidak bahagia atau tidak sanggup mencintai pekerjaan atau profesi yang digeluti saat ini. Padahal baik secara filosofis keduanya dapat dikatakan, bahwa mencintai pekerjaan adalah kekuatan utama untuk meraih prestasi di bidang yang sudah kita pilih saat ini atau nanti.
Hasil wawancara yang dilakukan oleh Doris Lee McCoy, Ph.D penulis buku “Mega Traits for Successful People” (Career Life Institute: 1994) terhadap 1000 orang Amerika yang berprestasi tinggi di bidangnya, ternyata urusan mencintai pekerjaan ini menduduki urutan pertama, yang membedakan antara mereka dengan kebanyakan orang di lingkungannya. Secara keseluruhan, mereka yang berprestasi tinggi itu menikmati apa yang dilakukan (enjoy their work) dengan sepenuh hati (total involvement).
Meskipun wawancara itu dilaksanakan di Amerika, tetapi karena ini urusan prinsip yang berlaku secara universal, maka hampir bisa dipastikan akan tidak jauh berbeda andaikan saja wawancara itu dilakukan terhadap sejumlah orang Indonesia yang berprestasi. Di samping itu, tanpa wawancara pun sebetulnya naluri kita sudah bisa berbicara bahwa yang namanya cinta pekerjaan, cinta profesi atau ke-sepenuhan-hati itu nampaknya sudah menjadi semacam “kemutlakan”
Jika semuanya sudah kita ketahui bersama namun pada prakteknya pengetahuan itu masih kurang sakti menolong kita untuk bisa mencintai pekerjaan yang kita tekuni, lantas apa yang menyebabkan? Di sinilah nampaknya kita perlu sedikit membahas tentang bagaimana rasa tidak bahagia dan rasa tidak cinta ini berproses di dalam diri kita.
Logika Telur Ayam
Mana yang benar menurut praktek hidup antara kita menyatakan bahwa “kalau saya mendapatkan pekerjaan yang saya cintai maka saya akan mencintai pekerjaan itu” ATAU “kalau saya mencintai pekerjaan yang ada saat ini maka cinta itu akan mengantarkan saya untuk mendapatkan pekerjaan yang saya cintai…?” Inilah yang kira-kira saya maksudkan logika telor-ayam di sini.
Pernyataan pertama bisa jadi benar karena untuk orang tertentu dalam keadaan tertentu dengan alasan tertentu dan tujuan tertentu, mendapatkan pekerjaan yang dicintai memang cukup mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mencintai pekerjaan. Tetapi ya itu tadi: hanya berlaku untuk keadaan yang sifatnya sangat terbatas (baca: pengecualian)
Kalau kita merujuk pada hasil temuan sejumlah pakar yang dikutip dalam catatan ERIC Clearinghouse on Adult Career and Vocational Education (Columbus OH: 2002), akan kita dapatkan bahwa cinta dan tidak cinta pekerjaan (di luar batasan tertentu itu), lebih banyak disebabkan oleh apa yang terjadi di dalam diri (What is happening IN us), bukan tergantung pada apa yang menimpa kita (What is happening ON us), terlepas dari perbedan istilah tehnis yang mereka gunakan.
Studi ilmiah membuktikan, bahwa penyabab utama mengapa kita tidak sanggup mencintai pekerjaan adalah konflik diri. Ini bukan masalah ada gejolak dan tidak ada gejolak, sebab tidak mungkin orang hidup tanpa gejolak. Dari mana konflik-diri ini muncul? Masih merujuk pada hasil temuan yang sama, konflik diri ini dimunculkan oleh mandeknya roda pengembangan diri (developmental process factors). Kalau kita berhenti mengembangkan diri kita, entah itu melalui pekerjaan atau pendidikan, maka cepat atau lambat kita akan diterpa oleh konflik diri, seiring dengan bertambahnya kebutuhan dan keinginan kita.

Lantas, mengapa kita mandek? Bicara maunya kita, mungkin tidak ada orang yang menghendaki kemandekan. Pasti semua orang ingin maju, dinamis, proaktif, dan progresif. Jika dalam prakteknya kemandekan itu terjadi, lantas apa yang menjadi akar penyebabnya? Ajaran agama menunjukkan kita bahwa kemandekan ini disebabkan oleh kesalahan dalam memilih ke mana penglihatan pikiran ini kita fokuskan.
Kalau kita mengarahkan penglihatan ini pada hal-hal yang berbau “kurang” tentang diri kita maka kesimpulan yang tercetak di kepala kita adalah kesimpulan minus tentang kita. Kesimpulan minus ini akan kita jadikan alat untuk melihat sesuatu di luar diri kita termasuk pekerjaan. Penglihatan kita tidak bisa melihat selain apa yang sudah dipahami oleh pikiran kita. Nah, kalau terhadap diri kita saja pikiran ini sudah punya kesimpulan minus, maka apalagi terhadap pekerjaan? Inilah kira-kira kalau diuraikan urut-urutannya secara sekilas.
Alasan lain yang juga mendukung pendapat para pakar itu, adalah logika kita bersama. Katakanlah bahwa hari ini kita sudah mendapatkan pekerjaan yang kita cintai, tetapi kalau roda dinamika di dalam diri kita berhenti, maka cepat atau lambat pekerjaan itu akan hilang keindahannya di mata kita. Sebab, pasti di dalam pekerjaan yang kita cintai pun akan tetap ada bagian yang tidak kita cintai dan ini hanya bisa diharmoniskan oleh usaha pengembangan diri dalam hal kemampuan menyelesaikan masalah yang muncul (problem solving skill).
Alasan lain adalah fakta alamiah. Andaikan dunia ini selalu tunduk pada rencana kita, tentu saja perdebatan telor-ayam di atas akan gugur. Semua orang sudah pasti menginginkan agar kita didatangi lebih dulu oleh sesuatu yang kita cintai. Hanya saja praktek hidup tak selamanya tunduk pada rencana kita dan seringkali memberikan kita sebuah tawaran memilih yang kira-kira kalau dikalimatkan akan berbunyi: Apa yang akan anda pilih ketika anda tidak mendapatkan secara utuh apa yang anda inginkan?
Pembelajaran
Will Rogers pernah mengatakan: “walaupun anda saat ini sudah berada di jalur yang benar tetapi kalau yang anda lakukan hanya diam saja, maka perubahan akan membawa anda ke tempat yang tidak aman.” Pendapat ini bisa kita jadikan petunjuk bahwa terlepas apakah kita sudah mendapatkan pekerjaan yang kita cintai atau tidak, tetapi kalau dinamika kita mandek, perubahan akan membawa kita pada konflik-diri.
Pembelajaran yang mungkin kita lakukan untuk menyelamatkan diri kita dari kemandekan (stagnasi) adalah menyusun Tangga Dinamika yang sesuai dengan ukuran diri kita dengan melakukan gerakan berikut ini:
1. Menaikkan Keinginan
Kalau dulu kita pernah punya keinginan untuk menjadi karyawan atau keinginan untuk memiliki sesuatu – katakanlah begitu – dan hari ini keinginan itu sudah kita wujudkan, maka kita perlu menaikkan lagi standar keinginan itu ke tingkat yang lebih atas yang kira-kira secara rasional bisa kita capai, misalnya saja menjadi supervisor atau manajer, supaya kemandekan tidak mudah menguasai kita. Keinginan pada dasarnya adalah motivasi penggerak yang mendorong niat kita untuk berprestasi.
Tetapi yang perlu kita catat, adalah pentingnya kesadaran untuk membuat manajemen aktivitas yang diarahkan untuk mencapai sasaran yang diinginkan, baik jangka pendek (dan rutin) maupun jangka panjang – serta aktivitas yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah.
2. Menaikkan Pengetahuan
Mungkin kalau sekedar menaikkan keinginan untuk menjadi atau untuk memiliki ini mudah dan sudah dilakukan oleh hampir semua orang. Tetapi yang tidak dilakukan oleh hampir semua orang atau bahkan hanya dilakukan oleh sedikit orang adalah berusaha mencari pengetahuan yang cocok untuk digunakan sebagai alat mewujudkan keinginan itu.

Merujuk pada hasil temuan Aristotle, formula untuk berprestasi itu ada dua yaitu: rumusan tujuan yang jelas tentang apa yang kita inginkan untuk menjadi atau memiliki, dan yang kedua, menemukan metode yang cocok. Metode ini banyak dan salah satunya adalah ilmu pengetahuan yang tepat untuk keadaan diri kita.
Fungsi pengetahuan bagi keinginan kita adalah memberikan lebih banyak pilihan strategi dalam mewujudkan keinginan yang tidak hanya itu-itu saja. Selain itu, fungsi lain yang dimainkan oleh bertambahnya pengetahuan di kepala kita adalah memperbaruhi diri kita. Seperti kata Atkin, Ilmu pengetahuan yang kita dapatkan tidak saja membuat kita memiliki pengetahuan tetapi juga memperbaruhi definisi kita tentang diri kita.
3. Menaikkan Kemampuan
Sudah pasti akan ada gap (jurang pemisah) antara keinginan ideal dan kemampuan faktual kita dan sudah pasti akan ada gap antara pengetahuan yang baru kita dapatkan dengan kenyataan yang kita hadapi di bidang kita. Gap ini menawarkan pilihan antara: apakah kita akan menggunakan gap itu untuk mencerahkan diri kita atau kita akan menggunakan gap itu untuk “menggelapkan” diri kita.
Supaya gap itu bisa berfungsi mencerahkan, maka jalan yang tersedia hanya satu yaitu menjalankan agenda pembelajaran secara alamiah (sedikit demi sedikit tetapi terus menerus). Gap antara kemampuan dan keinginan hanya bisa dikuasai dengan cara menaikkan kemampuan. Kalau kemampuan kita tidak bertambah sementara kebutuhan dan keinginan kita terus bertambah, akhirnya konflik diri melanda. Gap antara pengetahuan dan kenyataan hanya bisa didamaikan dengan praktek yang mengikuti metode air hujan yang menetes dari atas ke bawah atau dari konsep ke praktek.

Walhasil, kalau kita coba menghitung dengan kalkulasi dagang, akan berbeda di tingkat keuntungan antara kita mencintai pekerjaan lebih dulu dan menemukan pekerjaan yang kita cintai dulu, meskipun keduanya benar. Mendahulukan cinta akan memberikan keuntungan ganda buat kita, terlepas apakah kita saat ini sudah menemukan pekerjaan yang kita cintai atau belum. Sementara mendahulukan pekerjaan hanya akan memberikan satu keuntungan dan itupun masih dengan syarat: Asalkan kita bisa menemukan pekerjaan yang kita cintai.
Herman Chain akhirnya menyimpulkan: “Kesuksesan bukanlah kunci kebahagian. Kebahagianlah yang menjadi kunci kesuksesan. Jika kamu mencintai apa yang kamu lakukan maka kamu akan sukses.” Puisi cinta mengatakan: “Anda tidak mencintai gadis karena dia cantik tetapi si dia menjadi cantik karena anda mencintainya.” Benarkah begitu..?
( Sumber Internet )

Cukupkah Berpikir Positif?

Cukupkah Berpikir Positif?

Oleh: Ubaydillah, AN
Jakarta, 20 Januari 2006

Antara Jalan dan Tujuan
Abraham Maslow pernah mengeluarkan nasehat bahwa salah satu yang penting untuk diingat bagi siapa pun yang ingin mengaktualisasikan potensinya adalah membedakan antara jalan dan tujuan dalam praktek hidup. Dalam teori, pasti semua orang sudah tahu apa itu perbedaan antara jalan dan tujuan, tetapi dalam praktek, jawabnya belum tentu.
Andakaikan semua orang sudah mengerti perbedaan antara jalan dan tujuan dalam praktek, tentulah ilmu manajemen tidak sampai berpetuah: “Jangan menjadikan aktivitas sebagai tujuan”. Aktivitas adalah jalan, cara atau sarana sedangkan tujuan adalah sasaran yang hendak kita wujudkan dengan cara yang kita terapkan. Aktivitas bukanlah tujuan dan tujuan bukanlah aktivitas, dan karena itu perlu dibedakan.
Andakaikan semua orang sudah mengerti perbedaan antara cara dan tujuan dalam praktek, tentulah Thomas Alva Edison tidak sampai berpetuah: “Jangan hanya menenggelamkan diri pada kesibukan demi kesibukan tetapi bertanyalah tujuan dari kesibukan yang Anda jalani.” Kesibukan kerapkali melupakan kita akan tujuan dari kesibukan itu dan karena itulah maka perlu diingatkan.
Dalam kaitan dengan pembahasan kali ini, mungkin sekali-sekali kita perlu bertanya kepada diri sendiri, apakah berpikir positif itu jalan atau tujuan? Menggunakannya sebagai jalan berarti setelah kita berpikir positif masih ada proses positif yang perlu kita jalani sedangkan menggunakannya sebagai tujuan berarti kita cukup hanya sampai pada tahap menciptakan pikiran positif atas kenyataan buruk di tempat kerja, di sekolah, di kampus dan di mana-mana.
Strategi Memilih
Memilih sebagai jalan atau tujuan, sebenarnya adalah hak kita. Tidak ada orang yang akan melaporkan kita ke polisi dengan memilih salah satunya. Tetapi kalau kita berbicara manfaat yang sedikit dan manfaat yang banyak maka barangkali sudah menjadi keharusan-pribadi untuk selalu mengingat bahwa berpikir positif itu adalah jalan yang kita bangun untuk mencapai tujuan yang kita inginkan. Logisnya bisa dijelaskan bahwa jika jalan yang kita pilih itu positif, maka perjalanan kita menuju terminal tujuan juga positif atau terhindar dari hambatan-hambatan negatif akibat dari kekeliruan kita dalam memilih jalan. Begitu ‘kan?
Hal ini agak berbeda sedikit dengan ketika kita memilihnya sebagai tujuan. Dibilang baik memang sudah baik dan dibilang untung memang sudah untung. Untung yang paling riil adalah mendapatkan suasana batin yang positif atau terhindar dari hal-hal buruk yang diakibatkan oleh pikiran negatif. Dale Carnegie menyimpulkan: “Ingatlah kebahagian tidak tergantung pada siapa dirimu dan apa yang kamu miliki tetapi tergantung pada apa yang kamu pikirkan.”
Hanya saja, jika ini dikaitkan dengan persoalan mengaktualkan potensi atau meraih prestasi yang lebih tinggi di bidang-bidang yang sudah kita pilih, tentulah masih belum final. Mengapa? Perlu disadari bahwa suasana batin yang sepositif apapun tidak bisa mengaktualisasikan potensi sedikit meskipun kalau suasana batin kita keruh akibat pikiran negatif, maka usaha kita untuk mengaktualisasikan potensi itu dipastikan terhambat. Jangankan potensi, sampah pun, menurut Tom Peters, tidak bisa dibuang oleh pemikiran yang jenius atau oleh strategi yang jitu.
Bahkan menurut Charles A. O'Reilly, Professor, Stanford Graduate School of Business, dunia ini tidak peduli dengan apa yang kita tahu kecuali apa yang kita lakukan. Puncak dari kehidupan ini adalah tindakan, bukan pengetahuan. Mahatma Gandhi menyimpulkan bahwa ukuran penilaian manusia yang paling akhir adalah aksi, titik. Ini sudah klop dengan penjelasan Tuhan bahwa kita tidak mendapatkan balasan dari apa yang kita khayalkan (fantasi) melainkan dari apa yang kita usahakan.
Rahasia Berpikir Positif
Dengan memiliki suasana batin positif, maka ini akan menjadi sangat kondusif (mendukung) untuk menjalankan proses positif berikutnya, yang antara lain:
1. Pelajaran
“Hukum Tuhannya” mengatakan bahwa pelajaran positif itu ada di mana-mana sepanjang kita mau menggali dan menyerapnya: di balik kesalahan, kegagalan, penghianatan orang lain atas kita, di balik musibah buruk yang menimpa kita dan seterusnya. Hanya saja, meskipun pelajaran positif itu ada di mana-mana, tetapi prakteknya membuktikan bahwa pelajaran positif itu tidak bisa kita serap kalau batin kita sudah keruh oleh pikiran-pikiran negatif.
Mendapatkan pelajaran positif memang tidak langsung mengangkat prestasi kita tetapi kalau kita ingin mengubah diri kita untuk menjadi semakin positif maka syarat mutlak yang harus dimiliki adalah menambah jumlah dan kualitas pelajaran positif yang kita serap, seperti kata Samuel Smile dalam salah satu tulisannya: “Tidak benar jika orang berpikir bahwa kesuksesan diciptakan dari kesuksesan. Seringkali kesuksesan dihasilkan dari kegagalan. Persepsi, study, nasehat dan tauladan tidak bisa mengajarkan kesuksesan sebanyak yang diajarkan oleh kegagalan.”
2. Keputusan
Satu kenyataan buruk yang kita hadapi pada hakekatnya tidak mendekte kita harus mengambil keputusan tertentu tetapi menawarkan pilihan kepada kita. Tawaran itu antara lain adalah: a) boleh memilih keputusan untuk mundur,b) boleh memilih keputusan untuk mandek / kembali ke semula dan c) boleh memilih keputusan untuk terus melangkah dengan menyiasati, mencari celah kreatif, dan lain-lain.
Nah, salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki untuk melahirkan keputusan yang nomor tiga adalah memiliki batin yang kondusif dan positif. Kita saksikan sendiri di lapangan bahwa meskipun semua orang punya keinginan untuk memilih keputusan nomor tiga, tetapi karena hanya sedikit orang yang punya kemampuan menghilangkan pikiran negatif, maka prakteknya justru keputusan nomor dua atau nomor satu yang menjadi pilihan favorit.

Jika dikaitkan dengan praktek hidup sehari-hari, ada hal yang tidak bisa diingkari bahwa semua orang setiap saat telah memilih keputusan tertentu tentang apa yang akan dilakukannya. Dari keputusan yang dipilih itulah lahir sebuah tindakan yang menjadi penyebab sebuah hasil. Karena itu ada saran Brian Tracy yang patut kita renungkan bahwa yang menentukan nasib kita itu bukan apa yang menimpa kita melainkan keputusan yang kita ambil atas apa yang menimpa kita. Artinya, keputusan mundur akan menghasilkan kemunduran; keputusan mandek akan menghasilkan kemandekan dan keputusan maju akan menghasilkan kemajuan.



3. Keteraturan langkah
Apa yang menyebabkan langkah kita terkadang mudah diserang virus keputusasaan dan kepasrahan? Apa yang terkadang membuat kita mudah bongkar-pasang rencana hanya karena mood sesaat? Sebab-sebabnya tentu banyak tetapi salah satunya adalah pikiran negatif. Sekuat apapun fisik kita atau sekuat apapun keinginan kita untuk mewujudkan tujuan, biasanya akan tidak banyak membantu apabila pikiran ini sudah penuh dengan kotoran negatif. Kita menjadi orang yang putus asa bukan karena kita tidak mampu bertahan, melainkan karena kita telah mengambil keputusan yang fatal.
Nah, dengan menciptakan pikiran positif atas hal-hal buruk yang menimpa kita setidak-tidaknya ini menjadi bekal buat untuk melakukan hal-hal positif secara terus menerus dalam arti tidak mengandalkan perubahan keadaan atau tidak mudah disakiti oleh pukulan keadaan. Seperti pesan Denis Waitley, “Bukan dirimu yang menjadi penghambat kemajuanmu tetapi muatan pikiran yang kamu bawa.”


Dari pesan itu mungkin ada satu hal yang perlu kita ingat bahwa pikiran negatif yang kita bawa atau yang kita biarkan itulah yang terkadang menjadi penghambat langkah kita atau mengganggu kelancaran langkah kita dalam menapaki tujuan yang sudah kita tetapkan. Karena itu paslah jika ada permisalan yang menggambarkan bahwa pikiran negatif itu akan memberikan kotoran di dada kita. Dada yang penuh dengan kotoran yang kita biarkan akan membuat punggung kita terbebani oleh muatan-muatan yang memberatkan lalu mengakibatkan langkah ini tidak selancar seperti yang kita inginkan.
Apa Yang Perlu Dijalani ?
Di atas sudah kita singgung bahwa menggunakan pikiran positif sebagai jalan berarti setelah kita berpikir positif masih ada proses positif yang perlu kita jalani. Apa yang perlu untuk dijalani?
1. Temukan pelajaran spesifik
Entah sadar atau tidak, kerapkali istilah berpikir positif ini hanya kita praktekkan sebatas berprasangka baik, meyakini adanya hikmah yang mencerahkan, atau sebatas punya opini positif. Tentu ini sudah benar dan sudah baik tetapi kalau kita kaitkan dengan hasil sedikit dan hasil yang lebih banyak, maka proses positif yang perlu kita lakukan adalah mengaktifkan pikiran kita untuk menemukan pelajaran-pelajaran spesifik yang benar-benar cocok dan relevan dengan keadaan-diri kita pada hari ini.
Sebut saja misalnya kita gagal dalam usaha. Memang sudah benar kalau kita berpikir bahwa di balik kegagalan itu ada hikmah buat kita. Hanya saja hikmah di sini mengandung pengertian yang seluas isi daratan, alias masih umum. Kegagalan usaha kita bisa disebabkan oleh waktu yang belum tepat, kesalahan memilih orang, kurang gigih, kurang skill, keadaan eksternal yang di luar kontrol, dan lain-lain. Karena tidak mungkin kita menyerap hikmah secara keseluruhan dalam satu waktu, maka yang paling penting adalah menyerap hikmah yang relevan saja sebagai bahan mengoreksi diri.
2. Gunakan dalam hal spesifik
Banyak pengalaman yang sudah menguji bahwa memiliki rumusan tujuan yang jelas dan jelas-jelas diperjuangkan, ternyata memiliki manfaat cukup besar bagi proses positif. Dengan kata lain, untuk bisa menggunakan pelajaran yang sudah kita serap menuntut adanya rumusan tujuan yang kita upayakan realisasinya. Tanpa ini, mungkin saja pelajaran positif yang kita temukan itu akan nganggur alias kurang banyak manfaatnya.
J.M. Barrie memberikan contoh dari pengalamannya: “Selama lebih dari 30 tahun saya memimpin, saya sampai pada kesimpulan bahwa yang paling penting di sini adalah memiliki kemampuan yang saya sebut “kegagalan maju”. Kemampuan ini bukan sekedar memiliki sikap positif terhadap kesalahan. Kegagalan maju adalah kemampuan untuk bangkit setelah anda dipukul mundur, kemampuan untuk belajar dari kesalahan dan kemampuan untuk melangkah maju ke arah yang lebih baik.”

Dengan kata lain, agar kita bisa menjadikan kegagalan kita sebagai dorongan untuk meraih kemajuan tidak cukup hanya dengan memiliki pikiran positif dan sikap positif atas kegagalan itu, melainkan dibutuhkan upaya kita untuk menggunakan pelajaran yang sudah kita dapatkan dalam usaha meraih keinginan berikutnya. Pelajaran, pengetahuan, dan petunjuk pengalaman yang tidak kita gunakan untuk membimbing praktek kita pada hari ini akan menjadi dokuman yang nilai dan manfaatnya kurang.
3. Membuka diri
Seperti yang sudah kita singgung di muka bahwa pelajaran positif yang ada di balik satu masalah, satu kenyataan buruk, atau di balik peristiwa yang kita alami dalam praktek hidup itu sangatlah tidak terbatas, tidak tunggal, tidak mono, dan karena itu sering disebut petunjuk (hidayah). Saking banyaknya itu, maka tidak mungkin ruangan miliki kita bisa sanggup menyerap seluruhnya dan sekaligus sehingga yang dibutuhkan adalah membuka diri atas berbagai pelajaran positif yang diwahyukan oleh kesalahan kita, kesalahan orang lain yang kita lihat, temuan ilmu pengetahuan, nasehat, dan seterusnya.

Cak Nur pernah berpesan: “Sikap terbuka adalah sebagian dari pada iman. Sebab seseorang tidak mungkin menerima pencerahan dan kebenaran jika dia tidak terbuka.” Sikap terbuka menurut Ajaran Kejawen (Javanese Spiritual Doktrine)merupakan syarat untuk mengarungi jagat “kaweruh” (sains, tehnologi, dst). “Syarat utama bagi pelajar adalah memiliki kemampuan dalam menghilangkan atau menyimpan untuk sementara waktu pemahaman dogmatis yang telah dimiliki dan mempersiapkan diri dengan keterbukaan hati-pikiran untuk merambah jagat ilmu pengetahuan". Selamat menggunakan!!!
( Sumber Internet )

Saatnya Mengaudit Langkah

Saatnya Mengaudit Langkah
Oleh: Ubaydillah, AN
Jakarta, 6 Januari 2006

Hidup adalah sebuah pilihan
Jika hingga detik ini Anda merasa sudah berusaha kemana-mana, sudah mengerahkan segala daya upaya yang paling optimum menurut perasaan Anda, sudah berdo’a dengan redaksi yang paling hebat, sudah menghubungi siapa saja yang menurut Anda pantas dihubungi, dan ternyata hasilnya masih jauh dari yang Anda inginkan, atau bahkan sama sekali tak match, maka ada satu hal yang penting untuk dihindari dan ada satu hal yang perlu untuk dilakukan.

Satu hal yang penting untuk dihindari adalah membiarkan diri kita larut, hanyut, dan tenggelam ke dalam kesedihan meratapi nasib yang menurut perasaan kita “kok jauhnya minta ampun banget” dengan impian kita. Alasan yang perlu kita sederhanakan antara lain bahwa selain bukan hanya kita seorang saja di dunia ini yang merasakan perasaan demikian, munculnya “bad-surprise” dalam nasib kita itu adalah sesuatu yang diizinkan Tuhan untuk ada di muka bumi ini.

Karena atas izin-Nya, maka ia ada dan terjadi bukan untuk sebuah kesia-sian belaka, melainkan ada kegunaan yang bisa dimanfaatkan, meskipun harus diakui bahwa menurut perspektif manusia, tentulah tidak ada dari kita yang menginginkannya; tidak ada yang ingin merasakannya; dan tidak ada yang ingin mengalaminya, selain juga tidak boleh mengharapkannya.

Lantas apa kegunaan itu? Sampai pada tahap ini, sering sekali kita melupakan satu hal bahwa yang dipersilahkan untuk memilih kegunaan tertentu itu adalah kita, bukan malah balik bertanya kepada dunia tentang apa gunanya atau malah memasang sikap apatis yang menolak untuk menggali kegunaan selain yang sudah kita rasakan. Penderitaan itu memang membuat manusia menderita, upset, hopeless, distress, frustasi, dan seterusnya, tetapi soal untuk apa itu akan kita gunakan, adalah pure pilihan kita.

Semua itu pilihan kita, mau digunakan untuk menghancurkan diri, atau untuk pembangkit energi. Mau dijadikan racun, atau dijadikan obat – meski obat seringkali pahit rasanya. Mau dijadikan bencana atau mau dijadikan lentera – pencerahan jalan hidup. Semua balik lagi terserah pilihan kita, manusia.

Satu hal lain lagi yang perlu kita ingat bahwa tentu saja untuk mengusahakan dan mewujudkan kegunaan positif itu lebih sulit dari pada memilih kegunaan yang negatif. Dunia ini mengajarkan bahwa untuk mendapatkan hal-hal positif, dibutuhkan inisiatif sementara untuk mendapatkan hal-hal negatif hanya dibutuhkan pengabaian dan membiarkan. Tetapi di sisi lain, dunia juga mengajarkan bahwa untuk berinisiatif, biasanya beban yang ditanggung satu ons tetapi dengan mengabaikan, beban yang kita tanggung bisa kelak menjadi satu ton.

Defining Moment
Satu dari sekian kegunaan positif yang sudah dipilih oleh orang-orang positif di dunia ini adalah menjadikan hal-hal buruk yang tidak diinginkannya sebagai ”defining moment”. Artinya, penderitaan yang dialami, entah itu besar atau kecil, dadakan atau berkepanjangan, dijadikan dorongan yang benar-benar tepat (pil) untuk melakukan perubahan, perbaikan, audit, dan seterusnya. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai moment untuk menaikkan standar prestasi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dalam kaitan dengan pembahasan kita kali ini, mungkin kita perlu menjadikan kenyataan buruk yang kita alami sebagai moment untuk meng-audit hal-hal berikut:

1. Sasaran yang kita tetapkan
Termasuk dalam cakupan sasaran di sini antara lain: cita-cita, keinginan, tujuan, target, dan seterusnya. Mengapa sasaran yang perlu diaudit? Jika kita tidak punya sasaran, ibaratnya seperti orang bingung sedang jalan-jalan. Jika kita punya sasaran tetapi telalu tinggi menurut ukuran riil kita, kegoncangan akan muncul. Jika kita turunkan terlalu rendah menurut ukuran riil kita, maka kemandekan mengancam.

Supaya kegoncangan yang kita alami tidak berkepanjangan, maka sasaran yang sudah kita teorikan di kepala perlu diaudit, entah itu diturunkan sementara, diperbaiki, diperjelas, dipendekkan, di-spesifik-kan, berdasarkan keadaan-diri kita pada hari ini. Meskipun ini tidak mengubah kenyataan buruk sedikit pun, tetapi kegoncangan batin yang kita alami sudah kita datangkan obatnya.

2. Cara, strategi, kebiasaan yang kita pakai
Hal lain yang perlu diaudit adalah cara, strategi atau seperangkat kebiasaan yang biasa kita gunakan selama ini untuk meraih sasaran yang kita inginkan dan ternyata masih gagal. Menurut hasil renungan Napoleon Hill, kebanyakan kita gagal usahanya bukan karena kita tidak mampu mewujudkan keberhasilan yang kita inginkan, melainkan karena kita mempertahankan satu cara yang sudah jelas-jelas gagal di lapangan.

Bahkan jika dilihat dari penjelasan firman Tuhan kepada kita semua, mempertahankan cara atau strategi yang sudah nyata-nyata gagal dan menolak untuk mengais cara lain, termasuk bukti dari keputusasaan kita terhadap rahmat-Nya, yang dalam bahasa agama sering disebut sesat atau gelap. Karena itu, yang diperintahkan kepada kita adalah meyakini adanya pintu lain yang sudah terbuka jika kita mendapati satu pintu yang tertutup. Sayangnya, terkadang kita terlalu lama memandangi pintu yang sudah nyata-nyata tertutup sehingga kita gagal menemukan pintu lain yang sudah terbuka.

Cara, strategi atau kebiasaan yang perlu diaudit, bukan semata yang dalam bentuk fisik, melainkan yang lebih penting lagi, adalah cara berpikir, strategi berpikir, kebiasaan berpikir atau sesuatu yang ada di dalam batin kita. Jim Rohn berpesan: “Semua yang ada di luar dirimu akan berubah jika kamu mengubah dirimu.” Hal ini karena semua kreasi fisik, entah itu tindakan atau hasil tindakan, awalnya diciptakan dari dalam batin kita (kreasi mental). Tindakan yang jitu lahir dari pikiran yang jitu, tindakan yang masih meleset lahir dari pikiran yang belum pas, kira-kira begitulah.

3. Orang, lingkungan atau jaringan yang kita masuki
Jika dalam bisnis perumahan ada kata pusaka yaitu: lokasi, lokasi, dan lokasi, maka dalam meng-audit langkah atau mengubah nasib kita, mungkin kata pusaka itu perlu diganti menjadi: orang, orang dan orang. Orang, lingkungan dan jaringan yang kita masuki, memang tidak membuat / mengubah kita menjadi apapun tetapi jika kita ingin mengubah diri dalam arti yang luas, maka ini perlu mengubah jaringan orang yang kita kenal, entah dengan cara menambah, mengurangi, memperluas, memperdalam hubungan, dan lain-lain.

Dengan mengubah jaringan orang yang kita kenal, maka ini akan menciptakan jalan bagi perubahan pola berpikir, strategi, kepercayaan, kebiasaan, pengetahuan, metode, dan seterusnya. Mungkin, saking pentingnya peranan orang itu bagi kita, sampai-sampai ahli filsafat bisnis Amerika, Jim Rohn, mengatakan: “Jika buku yang anda baca dan orang yang anda ajak bergaul sama, maka dalam lima tahun ke depan, kemungkinan besar nasib anda masih sama.”


Untuk mengubahnya, sudah pasti membutuhkan modal, tetapi modal di sini tidak mutlak identik dengan uang yang banyak atau sejumlah modal yang saat ini tidak ada di tangan kita. Prakteknya sering membuktikan bahwa orang yang perlu masuk dalam daftar “jaringan” itu sudah disediakan Tuhan di sekeliling kita tetapi selama ini jarang kita perhatikan, jarang kita bedakan, jarang kita telaah, dan jarang kita gali.
Menjaga 3K
Menjalani hidup memang berbeda seribu derajat dengan membahas kehidupan. Dalam membahas kehidupan seperti dalam tulisan ini, enak saja kita mengganti, mengubah dan meng-audit langkah sekehendak kita, tetapi dalam menjalani, tentu saja tidak bisa kita meng-audit dan mengubah sekehendak kita. Hemat saya, ada sedikitnya tiga hal yang perlu dijaga seiring dengan keputusan kita untuk meng-audit dan memperbaharui langkah, yaitu:

1. Kebutuhan
Kata orang yang sudah sering kita dengar, kebutuhan itu tidak mengenal kata nanti, bahkan ampun pun tidak. Ungkapan lain mengatakan bahwa lebih enak ngomong sama orang yang marah ketimbang ngomong sama orang yang lapar. Ini semua menunjukkan bahwa kebutuhan itu tidak bisa diganggu-gugat dan karena itu, agenda apapun yang akan kita jalankan, hendaknya jangan sampai menganggu aktivitas kita dalam memenuhi kebutuhan. Atau dengan kata lain, hendaknya kita tetap menjalankan aktivitas yang sasarannya untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya tidak bisa diganggu-gugat di tengah-tengah kesibukan kita memikirkan tiga hal yang perlu diaudit di atas. Jika kebutuhan ini terancam, maka kita semua sudah tahu akibatnya.

2. Keinginan
Meskipun kebutuhan itu tidak mengenal ampun dan kata nanti, tetapi jika pikiran ini terlalu kita fokuskan hanya untuk kebutuhan, hanya apa adanya, tanpa visi, tanpa imajinasi, tanpa cita-cita, tanpa keinginan, maka Mohamad Ali mengibaratkan seperti seandainya bumi ini tanpa langit: kering dan gelap. Marylin King, mantan seorang atlet, menyimpulkan:

“ Astronot, atlet dan eksekutif perusahaan memiliki tiga hal kembar. Mereka punya sesuatu yang sangat berarti bagi mereka; sesuat yang benar-benar ingin mereka lakukan. Kami menyebutnya gairah. Mereka memandang tujuan dengan sangat jelas dan mengimajinasikannya secara ajaib sehingga tampak begitu kuat dan mereka membayangkan dirinya menapaki langkah-langkah kecil dalam perjalanan menuju tujuan itu. Kami menyebutnya visi. Akhirnya mereka melakukan sesuatu setiap hari, sesuai dengan rencana yang akan membawa mereka selangkah lebih dekat ke mimpi mereka. Kami menyebutnya aksi.”

Artinya, selain kita perlu memprogam aktivitas yang sasarannya kebutuhan, kita pun perlu memprogram aktivitas yang sasarannya adalah mewujudkan keinginan (visi, cita-cita, dst) yang belum terwujud atau beru terwujud sebagian, agar tidak kering dan gelap (demotivator dan apatis), seperti bagaikan bumi tanpa langit, bagaikan burung tanpa sayap, bagaikan mobil yang rodanya terpendam lumpur “kebutuhan”.

3. Kelancaran
Tak cukup sepertinya jika kita hanya memprogram aktivitas yang kita lakukan hari ini semata untuk sasaran kebutuhan dan keinginan. Ada satu hal lain yang perlu kita programkan, yaitu mengatasi masalah-masalah, entah itu tehnis, hubungan, dan lain-lain yang kedatangannya tidak diundang. Membiarkan masalah, bukan berarti menghilangkan masalah.Tetapi jika kita mengerahkan seluruh pikiran dan aktivitas kita hanya untuk mengurusi masalah, maka keinginan dan kebutuhan kita akan yatim, yang juga masalah.

Jadi, menurut nasehat Anthony Robbins, gunakan 10 % saja untuk memikirkan masalah (what and why), lalu gunakan sisanya untuk memikirkan pemecahan masalah (how). Tenggelam dalam memikirkan masalah, justru malah akan membuat kita bermasalah. Nasehat lain bisa kita dengarkan dari Brian Tracy, seorang konsultan SDM, yang mengatakan: “bukan dimana saat ini kita berada; yang menentukan kita, melainkan ke mana langkah ini akan kita gerakkan.” Masalah tidak membuat kita keman-mana tetapi apa yang akan kita lakukan terhadap masalah itu akan menentukan di manan nanti kita berada.

Dengan belajar menjalani tiga hal di atas, minimal kita tidak perlu bertengkar dengan kenyataan yang ada di hadapan kita, pun juga kita tidak tenggelam di dalam kenyataan itu, serta tidak terhanyut ke dalam memikirkan masalah siang dan malam. Sekali lagi perlu kita ingat, ini baru membahas kehidupan, belum masalah menjalani kehidupan. Selamat menjalankan
( Sumber Internet )

Mengapa Perlu Optimis ?

Mengapa Perlu Optimis ?
Oleh: Ubaydillah, AN
Jakarta, 22 Januari 2007
Mengapa optimisme diperlukan?
Apakah Anda seorang yang optimis dalam menghadapi bulan-bulan ke depan di tahun 2007 ini? Tunggu dulu. Kita orang optimis atau pesimis tidak penting diutarakan secara verbal di hadapan orang lain. Kitalah orang yang paling tahu apakah kita seorang yang optimis atau pesimis. Tingkat ke-optimis-an dan ke-pesimis-an kita tidak bisa diukur dengan ucapan mulut. Mulut kita memang bisa saja mengatakan kita ini orang optimis. Meski begitu, jika yang kita praktekkan sehari-hari justru bertentangan dengan kaidah-kaidah optimisme, maka kita bukanlah orang yang optimis.
Optimisme memiliki dua pengertian. Pertama, optimisme adalah doktrin hidup yang mengajarkan kita untuk meyakini adanya kehidupan yang lebih bagus buat kita (punya harapan). Kedua, optimisme berarti kecenderungan batin untuk merencanakan aksi, peristiwa atau hasil yang lebih bagus. Kalau dipendekkan, optimis berarti kita meyakini adanya kehidupan yang lebih bagus dan keyakinan itu kita GUNAKAN untuk menjalankan aksi yang lebih bagus guna meraih hasil yang lebih bagus.
Optimisme seperti itu dalam prakteknya sangat diperlukan. Ini antara lain dengan alasan-alasan:
Pertama, energi positif (dorongan). Kalau bicara harapan sebatas harapan (baca: harapan mulut), tentunya kita sudah tahu kalau harapan itu tidak bisa mengubah apa-apa. Lalu untuk apa kita membutuhkan harapan (optimisme)? Ini untuk mengeluarkan energi positif. Untuk menciptakan langkah dan hasil yang lebih bagus dibutuhkan harapan yang lebih bagus agar energinya lebih bagus. Memiliki harapan yang lebih bagus akan memunculkan energi dorongan yang lebih bagus.
Sekarang, coba kita bayangkan apa yang akan kita rasakan seandainya kita sudah tidak memiliki harapan adanya kehidupan yang lebih bagus di masa datang? Kemungkinan yang paling dekat adalah kita tidak terdorong untuk melakukan sesuatu yang lebih bagus, terasa hambar, terasa biasa-biasa saja. Kehidupan yang lebih bagus memang tidak bisa diwujudkan dengan hanya harapan, namun untuk meraihnya dibutuhkan harapan yang bagus. Karena itu ada yang mengatakan, selama harapan itu masih ada berarti kehidupan kita masih ada. Collin Powell sendiri mengakui: “Optimism is a force multiplier.

Kedua, perlawanan. Tingkat perlawanan seseorang terhadap masalah atau hambatan yang dihadapinya juga terkait dengan tingkat keoptimisannya. Orang dengan optimisme yang kuat biasanya punya perlawanan yang kuat untuk menyelesaikan masalah atau hambatan. Sebaliknya, orang dengan optimisme rendah (pesimis), biasanya punya tingkat perlawanan yang lebih rendah, cenderung lebih mudah pasrah pada realitas atau keadaan ketimbang memperjuangkannya.
Secara agak lebih ekstrim sedikit, kita bisa membagi manusia dalam menghadapi masalah / hambatan itu menjadi tiga kelompok, seperti yang ditulis Less Brown dalam “Learn To Be Winner” (Top Achievement: 2000]. Ketiga kelompok itu adalah the winner (pemenang), the loser (pecundang) dan the potential winner (calon pemenang). Menurut Kevin Costner, yang disebut pemenang itu adalah orang yang jatuh, gagal dan kurang, tetapi pada akhirnya menang karena pendirian, keyakinan dan komitmen yang dipegangnya dengan teguh untuk mencapai impiannya."
Apa yang membuat seseorang menjadi pemenang dan pecundang? Tentu banyak faktor yang terlibat. Tapi kalau mau melihat kondisi faktor internal, tentu peranan harapan atau optimisme tidak bisa dielakkan. Kalau mau pakai pedoman pendapat Greg Phillip (The ultimate potential: 2004), faktor internal yang terlibat itu adalah: a) harapan, b) keyakinan, c) kontrol-diri, dan d) sikap mental.
Ketiga, sistem pendukung. Harapan optimisme juga berfungsi sebagai sistem pendukung. Kalau kita menginginkan keberhasilan, lalu kita berpikir berhasil, punya kemauan untuk berhasil, punya sikap yang dibutuhkan untuk berhasil dan melakukan hal-hal yang dibutuhkan untuk keberhasilan itu, maka logikanya kita pasti berhasil. Soal kapannya itu urusan lain.
Yang menjadi masalah buat kita adalah kita menginginkan keberhasilan tetapi kita malas-malas (tidak punya kemauan), punya sikap yang tidak mendukung, berpikir negatif, harapannya pesimis, dan lebih sering tidak melakukan hal-hal yang kita butuhkan untuk berhasil. Ibarat mesin, jika yang aktif hanya satu sistem, sementara sistem yang lain mati atau bekerja untuk hal-hal yang tidak kita inginkan, maka operasi sistem itu kurang optimal.

Intinya, harapan di sini bukan tujuan, apalagi tempat bergantung. Kita tidak boleh menggantungkan harapan pada harapan itu, melainkan pada usaha. Harapan di sini adalah metode atau jalan agar kita bisa mengeluarkan energi positif, bisa mengatasi masalah secara positif sepositif harapan kita dan bisa memiliki mesin prestasi yang seluruh sistemnya bergerak secara positif.

Sebuah temuan mengungkap bahwa orang yang memiliki harapan optimis, umumnya memiliki kualitas di dalam diri yang antara lain:

§ Punya fokus langkah yang selektif, punya sasaran usaha yang jelas
§ Bisa menerima fakta hidup dengan kesadaran, tanpa banyak mengeluh atau memprotes
§ Memiliki bentuk keyakinan yang membangkitkan
§ Punya perasaan diberkati rahmat Tuhan
§ Punya kemampuan untuk menikmati kehidupan
§ Punya kemampuan dalam menggunakan akal sehatnya dalam menghadapi tantangan hidup
§ Punya kemampuan untuk menjalankan agenda perbaikan diri secara terus menerus
§ Punya penghayatan yang bagus terhadap praktek hidup yang dijalankan sehingga bisa membedakan praktek yang salah dan praktek yang benar; praktek yang tepat dan praktek yang menyimpang
§ Punya kepercayaan yang bagus terhadap kemampuannya
§ Punya perasaan yang bagus terhadap dirinya


Apa yang perlu dihindari dalam berharap?
Meski untuk berharap itu tidak ada peraturannya, namun berdasarkan pengalaman dan kebiasaan, ada beberapa hal yang akan lebih bagus kalau dihindari. Beberapa hal itu antara lain:

Pertama, harapan mulut (wish). Seperti apa harapan mulut itu? Kalau kita berharap adanya hari esok yang lebih bagus, namun itu hanya kita gunakan dalam ucapan atau tulisan, tanpa diiringi dengan tujuan, perencanaan, strategi, tehnik dan pelaksanaannya (aksi), ya ini namanya harapan mulut. Biasanya, harapan seperti ini tidak mengubah apa-apa. Harapan seperti ini sama seperti fantasi atau keinginan-keinginan yang sifatnya masih umu.

Para pakar pengembangan diri umumnya membedakan antara “wish” dengan “goal” (tujuan atau keinginan yang jelas). Katanya, orang lemah biasanya hanya punya wish; sementara orang kuat biasanya memiliki goal. Goal adalah keinginan dengan sasaran yang jelas dan jelas-jelas kita usahakan. Sekedar punya wish dalam pengertian seperti ini, tentu semua orang bisa. Sayangnya, praktek hidup ini tidak peduli dengan berbagai wish yang kita ucapkan.

Kedua, terlalu berharap (over-expectation). “Jangan terlalu berharap nanti kecewa sendiri”, itu pesan yang sering kita dengar. Memang ini tidak pasti tetapi biasanya begitu. Terlalu berharap itu berbeda dengan memiliki harapan yang kuat (optimis). Harapan yang kuat berujung pada aksi atau usaha yang kuat. Seperti yang sudah kita bahas, optimisme itu artinya kita menciptakan keyakinan dan menggunakannya dalam bertindak. Sementara, terlalu berharap biasanya hanya berhenti pada mengharap, untuk mengharap dan selalu mengharap. Ada pepatah yang berpesan begini: “Jika kau mengharapkan sesuatu, jangan terlalu mengharapkannya.” Bahkan Samuel Somarset mengamati bahwa terlalu mengharapkan sesuatu kerapkali malah mengundang datangnya sesuatu yang tidak kita harapkan. Inilah anehnya hidup itu.

Ketiga, berharap dengan setengah takut (ragu-ragu). Biasanya, harapan seperti ini lahir dari ketidaktahuan kita secara akurat. Jika kita mengharapkan hari esok yang lebih bagus, namun kita tidak tahu apa alasan kita berharap seperti itu, ya mau tidak mau harapan kita tidak steril. Harapan kita masih bercampur dengan ketakutan dan keragu-raguan. Seperti kata Coach Bear Bryant, yang membedakan orang per-orang itu bukan harapannya pada keberhasilan, tetapi persiapannya. Semua orang mengharapkan keberhasilan, tetapi hanya orang yang punya persiapan matang yang berpeluang untuk berhasil.

Keempat, menggantungkan harapan pada kenyataan.Kalau kita hari ini punya harapan cerah karena sehabis terima bonus tahunan, kemudian bulan depan kita berharap lesu karena tidak ada bonus, ini namanya menggantungkan harapan pada kenyataan. Artinya, kita men-set harapan itu sesuai dengan kenyataan-sementara yang kita hadapi.

Pada ukuran yang wajar, bisalah kita sebut ini kelemahan-manusiawi yang wajar. Dibilang tidak bagus memang tidak bagus tetapi ini dimiliki oleh semua manusia. Nah, agar kewajaran ini tidak membuahkan kerugian atau kefatalan, maka kita diajarkan untuk menggantungkan harapan pada Tuhan(iman), bukan pada realitas. Artinya, kita perlu belajar menemukan alasan yang kuat untuk bisa memiliki harapan optimisme, terlepas realitas-sementara yang kita hadapi. Seperti pesan Einstein, orang optimis bisa melihat sinar di ujung kegelapan; bisa melihat tanda-tanda peluang di balik kesulitan.

Kelima, mempertentangkan harapan dan kenyataan. Apa yang membuat orang stress berkepanjangan? Apa yang membuat orang terkena konflik-diri terlalu lama? Salah satunya adalah kurang bisa me-manage gap antara harapan dan kenyataan. Orang yang bisa me-manage, biasanya menjadikan kenyataan sebagai dorongan untuk mewujudkan harapannya. Mereka bisa menggunakan ketidakpuasan sebagai dorongan untuk menciptakan perubahan. Banyak kan orang yang akhirnya mendapatkan “berkah” dari kenyataan buruk yang dihadapinya?


Sebaliknya, orang yang belum bisa me-manage, kerapkali menjadikan kenyataan ini sebagai killer harapannya. Mereka menjadikan kenyataan sebagai penyubur apatisme dan pesimisme. Meski sama-sama menghadapi kenyataan yang sama, namun karena sikap mentalnya berbeda, ya akan berbeda hasilnya. Tidak sedikit kan orang yang selalu menuding kenyataan dan menjadikan kenyataan itu sebagai dalil pembenar untuk hopeless?

Bagaimana menciptakan harapan yang optimis?
Harapan optimistik berbeda dengan harapan pesimistik. Bedanya dimana? Bedanya adalah, yang pertama harus diciptakan, sedangkan yang kedua tidak usah diciptakan. Pertanyaannya adalah, bagaimana menciptakan harapan optimistik itu? Di bawah ini ada beberapa pilihan yang bisa kita jadikan acuan:

Pertama, memiliki tujuan atau sasaran aktivitas yang jelas. Apa tujuan yang hendak anda raih di tahun 2007 ini? Kalau anda pelajar/ mahasiswa, tentukan tujuan atau standar prestasi yang benar-benar ingin anda raih. Kalau anda seorang karyawan, tentukan tujuan atau standar prestasi yang hendak anda wujudkan. Kalau anda seorang pengusaha, tentukan tujuan usaha anda yang lebih tinggi dari yang kemarin.

Banyak studi yang sudah mengungkap bahwa keoptimisan seseorang itu terkait dengan “internal value” dan “standard”. Memiliki harapan optimistik tidak bisa dibuat-buat. Sejauh di dalam batin kita ada standar, ada sasaran atau tujuan yang benar-benar berarti buat kita dan benar-benar kita perjuangkan, maka secara otomatis harapan itu muncul. Seperti kata C.R. Synder, Ph.D, penulis buku “The Psychology of Hope”, bahwa menentukan tujuan merupakan cara untuk membangkitkan harapan.

Kedua, ciptakan opini-diri yang bagus. Orang itu memang bermacam-macam. Terkait dengan opini-diri ini, ada orang yang meng-opini-kan dirinya sebagai orang lemah, tidak memiliki apa-apa, merasa tidak sanggup untuk merealisasikan tujuannya, merasa tidak punya alasan untuk berhasil, merasa tidak memiliki resource yang dibutuhkan, dan lain-lain. Ada juga orang yang berusaha meng-opini-kan dirinya sebagai orang kuat (warrior), merasa yakin dan mampu akan dapat mewujudkan tujuannya, merasa punya alasan yang kuat untuk berhasil, tahu apa yang harus dilakukan, tahu resource yang bisa digunakan, dan seterusnya.

Opini-diri mana yang lebih positif untuk kita miliki? Tentu saja yang kuat. Opini-diri yang kuat memang tidak otomatis dapat merealisasikan tujuan-tujuan atau sasaran yang kita buat. Tetapi perlu diingat, untuk merealisasikan tujuan itu dibutuhkan opini-diri yang bagus. Coba saja kita membiarkan opini-diri yang lemah, mana mungkin kita sanggup untuk sekedar punya harapan yang optimistik.

Jhon C. Maxwell pernah berpesan begini: “Ketika anda mengubah pikiran anda maka keyakinan anda akan berubah. Ketika anda mengubah keyakinan anda maka harapan anda berubah. Ketika anda mengubah harapan anda maka sikap anda akan berubah. Ketika anda mengubah sikap anda maka prilaku anda akan berubah. Ketika anda mengubah prilaku anda maka performansi anda akan berubah. Ketika anda mengubah performansi anda maka hidup anda akan berubah.”

Ketiga, miliki sikap dan pandangan yang sehat tentang hidup ini. Konon, salah satu penyebab yang membuat orang gagal memiliki harapan optimistik adalah sikapnya yang kurang sehat. Bagaimana sikap dan pandangan yang kurang sehat itu? Salah satunya adalah ketika kita tidak bisa menerima kenyataan dengan berbagai macam warna-warninya (fakta kehidupan). Ketika kita tidak belajar menerima kehidupan ini seperti adanya untuk kita usahakan seperti yang kita inginkan, memang yang kerap terjadi malah membikin kita mudah terkena stress atau tekanan. Kalau sudah begini, harapan kita juga terancan. Tetaplah berharap akan adanya kehidupan yang lebih bagus tetapi juga harus mengakui dengan kesadaran akan fakta hidup yang ada: terkadang ada OK dan terkadang tidak OK.

Keempat, temukan model. Model yang dimaksudkan di sini adalah orang. Temukan orang yang kira-kira budaya hidupnya bisa anda contoh. Temukan orang yang kira-kira pendapatnya tentang diri anda dan dunia ini bisa membangkitkan anda. Temukan orang yang bisa meng-inspirasi anda. Saran Mark Twin, jangan mendekati orang yang ucapannya malah menghancurkan harapan anda (menggembosi). Jangan pula mencontoh orang yang tidak punya harapan optimistik apabila kita ingin punya harapan optimistik.

Orang seperti itu bisa orang yang anda di sekeliling anda, kenalan, atau orang yang anda kenal lewat karyanya saja. Di majalan Fast Company edisi 20 Desember 2006 ini, ada kalimat yang bagus untuk kita ingat. Kalimat itu bunyinya begini: "Often the most important people in our network are those who are acquaintances." Acquaintances itu belum menjadi friend apalagi close friend, tetapi kenalan. Intinya, kita tidak perlu pusing mencari model orang karena ada dimana-mana dan bisa siapa saja.

Kelima, tingkatkan keimanan. Salah satu esensi keimanan adalah adanya kesadaran bahwa kita ini “dimiliki” (being owned) oleh Tuhan atau munculnya perasaan “kebersamaan” dengan Tuhan. Semakin kuat keimanan itu, semakin kuat juga kesadaran itu dan rasa kebersamaan itu. Punya kesadaran yang kuat bahwa kita ini “dimiliki” akan membuat kita tidak mudah merasa sendirian atau merasa tidak memiliki siapa-siapa dalam menatap masa depan. “Keimanan”, menurut kesimpulan Margo Jones, adalah prasyarat bagi semua usaha.
( Sumber Internet )

Depresi dan Reformasi Diri

Depresi dan Reformasi Diri
Oleh: Ubaydillah, AN
Jakarta, 10 November 2006

Depresi
Apa yang menyebabkan kita sampai menderita depresi? Sejauh depresi itu diartikan sebagai sebuah kondisi batin yang tertekan dalam waktu panjang (stress berkelanjutan) dan mengakibatkan hilangnya harapan hidup, makna hidup, motivasi berprestasi, dan kepercayaan-diri (losing mood and confidence), tentu saja sebab-sebabnya banyak. Namanya juga orang hidup. Realitas kehidupan ini terkadang lebih kejam dari kekejaman yang sanggup kita bayangkan.
Secara garis besar kita bisa mengatakan bahwa depresi bisa terjadi di - “stimulasi” oleh keadaan eksternal yang berubah ke arah yang lebih buruk dan itu di luar kontrol kita. Mengapa di “stimulasi” ? Perlu digarisbawahi di sini, bahwa kondisi emosi – psikologis masing-masing orang turut menentukan apakah sesuatu itu dapat menyebabkan depresi, sejauh mana tingkat depresinya serta seberapa besar kemampuan orang itu untuk mengatasi masalah (hingga tidak sampai depresi) – atau, seberapa besar kemampuan orang itu untuk mengatasi depresinya.
Katakanlah di sini misalnya kematian orang-orang tercinta atau bencana alam yang menyisakan kenangan-kenangan traumatik. Bila ini berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi dan menyebabkan kita kehilangan mood, kehilangan gairah untuk melangkah, kehilangan kepercayaan diri, maka trauma itu berubah menjadi depresi. Kita kehilangan daya tarik untuk menjadikan hidup kita menjadi lebih hidup dan kehilangan semangat untuk menjalankan aktivitas positif.
Depresi juga bisa muncul akibat perlakuan orang lain yang buruk pada kita. Seorang karyawan akan merasa tertekan apabila mendapati kondisi kerja dan gaya manajemen di tempat kerja yang menekan (stressful). Jika dia sudah berusaha untuk mencari pekerjaan lain ke mana-mana namun belum mendapatkan dan ditambah lagi dengan cara yang tidak kreatif dalam menghadapi realitas semacam itu, mungkin saja si karyawan itu akan terkena depresi. Depresi bisa tumbuh dari stress kerja yang berlangsung lama.

Depresi bisa juga terjadi pada seseorang setelah dianiaya orang lain, misalnya pemerkosaan atau kekerasan rumah tangga. Peristiwa buruk itu akan membuka kemungkinan terhadap depresi. Atau juga bisa terjadi pada orang yang sehabis terkena kebijakan PHK. Kehilangan pekerjaan dapat membuat kita stress (kehilangan status, kehilangan sumber penghasilan, dst) dan bila kita sudah mencari pengganti pekerjaan itu kemana-mana dan ternyata belum membuahkan hasil, stress itu akan berubah menjadi depresi. Depresi di sini adalah tekanan batin yang serius ditandai dengan kesedihan dan kekosongan (feeelings of sadness or emptiness).
Depresi juga muncul karena ulah kita sendiri. Ulah di sini ada yang berbentuk penyimpangan / pelanggaran atau ada yang berbentuk pengabaian. Hampir seluruh tindak penyimpangan atau pelanggaran atas apa yang benar di dunia ini dalam skala / ukuran yang besar, umumnya akan melahirkan konsekuensi yang “uncontrollable”. Bila konsekuensi buruk itu terjadi dan merembet kemana-mana dan semuanya menjadi pilihan buruk buat kita, ini juga bisa menimbulkan depresi. Karena itu banyak penderita NAPZA yang berkesimpulan bahwa kesembuhannya itu berkat mukjizat. Ini karena sedemikian sulitnya membayangkan bagaiman melepaskan diri dari ketergantungan dan dari konsekuensi buruk lainnya yang terkait dengan itu.
Demikian juga dengan pengabaian. Pengabaian terhadap diri sendiri, misalnya punya potensi tetapi tidak dikembangkan, punya pekerjaan tetapi tidak disyukuri (dijadikan lahan untuk meningkatkan diri), punya resource tetapi tidak digunakan, dan lain-lain, ini juga bisa menimbulkan depresi. Jadi, bukan pengabaiannya yang menyebabkan depresi tetapi konsekuensi pengabaian itulah yang membuat orang menjadi depresi. Kita mulai merasa tidak ada artinya bagi diri sendiri dan orang lain. Ketika perasaan ini terus menggunung, ya lama kelamaan akan menimbulkan depresi. Karena itu ada pendapat ahli yang menyatakan bahwa depresi bisa saja terjadi tanpa harus didahului peristiwa buruk yang tragis dan dramatik. Problem personal yang kecil-kecil namun diabaikan bisa saja akan mengundang depresi..
Hindari Tujuh Hal
Meski kita ingin segera dapat mengatasi depresi, tetapi tak jarang kita malah mempraktekkan hal-hal yang memperparah depresi itu. Ini antara lain bisa dijabarkan sebagai berikut:
1. Hanya mencari-cari tip, saran atau tehnik yang jitu untuk mengatasi depresi. Tip dari buku, saran dan tehnik dari orang lain itu sangat kita butuhkan tetapi posisinya di sini bukan sebagai penentu, melainkan sebagai pembantu (bantuan. Kita membutuhkan semua itu tetapi tidak boleh mengandalkan pada semuanya. Artinya, tip dan saran itu akan berguna ketika kita dalam keadaan sedang berusaha untuk mengatasi depresi dan tidak berguna kalau kita duduk dan diam saja.
2. Tidak percaya, menolak atau skeptis terhadap saran, pendapat atau bantuan orang lain. Ini adalah bentuk padanan yang ekstrim dari yang pertama. Menutup diri, menutup-nutupi, melecehkan semua orang atau menjauhi orang kerapkali justru akan membuat kita semakin ‘depressed’ dengan keadaan kita.
3. Hanya menyalahkan keadaan atau orang. Mungkin saja yang membuat kita depresi itu adalah dunia ini yang telalu kejam atau orang lain. Tetapi akan malah berbahaya kalau yang kita ingat dan yang kita lakukan adalah hanya mengutuk dunia dan mengutuk orang lain. Harus ada inisiatif dari dalam diri kita untuk mengobati diri sendiri.
4. Kurang kreatif dalam menemukan cara atau terlalu “taat” pada rutinitas yang biasa-biasa. Ini juga bisa membuat depresi itu makin mendalam. Ada saran agar kita membagi aktivitas menjadi tiga: a) aktivitas positif yang wajib, b) aktivitas yang untuk fun atau pleasurable, dan c) aktivitas yang untuk menabur kebajikan pada orang lain seperti membantu atau menyambung hubungan.
5. Membiarkan munculnya definisi diri negatif, misalnya saja: saya sudah tidak punya apa-apa lagi, saya muak melihat diri saya, hidup saya sudah hancur dan tidak bisa diperbaiki lagi, dan seterusnya. Ini adalah definisi atau kesimpulan atau label tentang diri sendiri yang kita buat sendiri. Jika ini terus berlanjut akan mempersulit upaya recovery.

6. Menolak realitas dengan cara yang merugikan. Realitas itu kalau ditolak dengan tujuan menolak yang asal menolak (denial), ini akan memperparah pertengkaran yang membuat depresi itu makin mencengkeram. Tetapi bila kita terima dengan pasrah dan kalah (larut dan hanyut), ini juga tidak menyembuhkan. Yang diharapkan adalah menerima untuk memperbaiki. Seperti yang ditulis Dr. Felice Leonardo Buscaglia, “ Trauma yang abadi di adalah penderitaan yang tidak diikuti dengan perbaikan.”
7. Menganut paham perfeksionis yang tidak rasional. Dari pengalaman sejumlah ahli dalam menangai penderita depresi, konon yang menghambat upaya recovery adalah ketika seseorang berpikir bahwa dia harus bebas dari depresi seketika itu dan langsung, tidak usah repot-repot. Mengatasi depresi butuh proses yang berkelanjutan, dan jika kita menolak proses itu bukan malah cepat tetapi malah semakin lama.
Tujuh hal di atas dapat kita gunakan untuk menjelaskan realitas di mana ada orang yang semakin buruk langkahnya, makin buruk hubungannya dan makin buruk caranya dalam menghadapi hidup saat depresi. Anda mungkin punya teman, keluarga atau tetangga yang malah semakin tertutup, semakin tidak persuasif, semakin tidak bijak, semakin sempit, semakin tertutup dan sejumlah “semakin” yang negatif lainnya.
Tetapi ada juga sekelompok orang yang mulai menunjukkan bukti-bukti perbaikan diri, perbaikan hubungan dan perbaikan cara dalam menghadapi realitas. Semakin jelas langkah yang ditempuh, semakin open dan bijak, semakin bisa memilih orang, semakin ramah, semakin soleh hidupnya, dan seterusnya. Sebisa mungkin kita perlu berjuang untuk menjadi manusia kelompok kedua.
Agenda Reformasi
Secara umum, agenda reformasi itu bisa kita buat berdasarkan poin-poin berikut ini:
1. Membangun citra diri positif

Citra diri berasal dari bagaimana kita menyimpulkan diri sendiri atau beropini tentang diri sendiri. Yang positif membuahkan citra positif. Untuk membangun yang positif ini diperlukan tiga hal:
§ Anda perlu menciptkan definisi, opini atau kesimpulan yang positif
§ Anda perlu melawan munculnya opini, definisi atau kesimpulan negatif dengan cara menghentikan, mengganti atau membatalkan
§ Anda perlu menciptakan alasan-alasan faktual, bukti nyata untuk mendukung kesimpulan positif yang Anda ciptakan
Sedikit tentang alasan faktual itu, saya ingin memberi contoh misalnya saja Anda berkesimpulan bahwa hidup Anda memang masih bermakna (untuk diri sendiri dan untuk orang lain). Kesimpulan ini lebih positif ketimbang Anda punya kesimpulan yang sebaliknya. Tetapi jika yang Anda lakukan hanya sebatas merasa atau menyimpulkan (tanpa diiringi dengan perbuatan dan hasil atau pembuktian bertahap), lama kelamaan kesimpulan Anda ini akan kalah oleh fakta yang ada tentang diri Anda. Jangan pernah berpikir bahwa perbaikan diri itu bisa ditempuh dengan cara tidak melakukan sesuatu. Forget it.
2. Menjalankan agenda perbaikan berkelanjutan yang realistis
Kesalahan kita saat terkena depresi adalah: kita hanya merasakan bagaimana depresi itu tetapi kurang berpikir tentang apa saja yang masih bisa kita lakukan untuk memperbaiki diri di masa depan. Kita tenggelam ke dalam masa lalu yang buruk dan lupa meng-imajinasi-kan masa depan yang lebih bagus. Padahal, masa lalu itu sudah tidak bisa diubah. Padahal, masa depan itu masih “open” buat kita. Agar ini tidak terjadi, Anda boleh memilih agenda perbaikan di bawah ini:
§ Anda merencanakan program atau jadwal tentang apa yang perlu anda lakukan dan apa yang perlu Anda hindari agar hidup Anda menjadi lebih bagus di hari esok berdasarkan keadaan Anda.
§ Anda mencanangkan target yang benar-benar ingin Anda raih sebagai bukti adanya perbaikan dalam diri Anda, misalnya mendapatkan pekerjaan, mendapatkan orang yang lebih bagus, mendapatkan tempat yang lebih bagus, dan seterusnya.

§ Anda merumuskan tujuan jangka pendek atau panjang yang ingin Anda wujudkan, seperti misalnya menyelesaikan kuliah, meningkatkan penguasaan bidang, menambah pengetahuan atau skill, dan lain-lain
Tiga hal di atas perlu dilakukan dengan catatan harus realistis: bisa dilakukan dari mulai hari ini, dengan menggunakan sumber daya yang sudah ada, dan dari lokasi hidup di mana Anda saat ini berada. Hindari membuat program atau target yang “mengkhayal” atau hanya berfantasi atau terlalu tinggi sehingga tidak bisa dilakukan dan tidak bisa diraih.
3. Menggunakan ketidakpuasan
Saat depresi, pasti kita tidak puas dengan hidup kita. Ini bisa positif dan bisa negatif, tergantung bagaimana kita menggunakan. Bagaimana supaya bisa positif? Salah satu caranya adalah dengan menggunakan ketidakpuasan itu sebagai dorongan / motivasi unntuk melakukan sesuatu (menjalankan program, meraih target atau tujuan). Anda bisa menggunakan ketidakpuasan atas masa lalu dan hari ini sebagai pemacu untuk memperbaiki atau mengubah hari esok. Jika PHK telah membuat Anda depresi, jadikan itu sebagai motivasi untuk memperluas jaringan, memperbaiki skill, membangun karakter yang lebih positif, dan seterusnya. Ini jauh lebih positif ketimbang kita hanya merasakan depresi, mengasihani diri sendiri dan menyalahkan orang lain.
4. Memperbaiki / memperluas hubungan
Wilayah hubungan yang perlu diperbaiki adalah: a) hubungan dengan diri sendiri: control diri, meditasi, dialog diri, dll, b) hubungan dengan orang lain dan c) hubungan dengan Tuhan (meningkatkan iman). Memperbaiki hubungan dengan diri sendiri akan membuat kita cepat mengontrol atau menarik diri dari keadaan yang tidak menguntungkan kita. Kalau kita sadar bahwa kita sedang depresi dan sadar bahwa kita harus segera mengambil tindakan, tentunya ini akan beda persoalannya.
Memperbaiki hubungan dengan manusia akan membantu usaha yang kita lakukan dalam mengatasi depresi. Kita tetap harus ingat bahwa manusia itu bisa digolongkan menjadi dua: a) ada manusia yang menjadi sumber depresi buat kita, dan b) ada manusia yang menjadi bantuan solusi atas depresi. Yang kita butuhkan (sebanyak-banyaknya) adalah manusia kelompok kedua. Jangan sampai kita menjauhi semua manusia, trauma kepada semua manusia, atau tidak percaya pada semua manusia.

Bagaimana memperbaiki hubungan dengan Tuhan? Ada banyak cara untuk memperbaikinya, antara lain: a) meningkatkan iman, b) menjalankan ajaran agama yang kita pilih (formal dan non-formal) sampai benar-benar kita merasa dan meyakini ada semacam “kebersamaan”. Kebersamaan di sini bukan kebersamaan yang “halusinasi” (tidak berdasar dan tidak berefek), tetapi kebersamaan yang mendorong kita untuk melakukan hal positif dan menghindari hal negatif. Kebersamaan seperti ini akan memperkuat dan mencerahkan.
5. Mengganti paham “perfection” menjadi “excellence”
Dengan bahasa yang sederhana dapat dijelaskan bahwa perfection adalah menuntut kesempurnaan (dari orang lain, dari diri sendiri dan dari dunia ini). Sementara, excellence adalah mengusahakan kesempurnaan secara bertahap, perbaikan berkelanjutan. Perfection lebih dekat pada keyakinan yang tidak rasional. Keyakinan seperti ini lebih mudah terkena depresi pada saat kita ingin mengatasi depresi, misalnya saja kita tidak mau gagal lagi (kemungkinan untuk gagal itu selalu ada), kita anti toleransi terhadap kelemahan orang lain (semua orang punya kelemahan), dan seterusnya.
Menurut Susan Dunn, MA, (When Perfect Isn't Good Enough, www.selfgrowth.com, perfeksionis dapat mengakibatkan hal-hal buruk yang antara lain adalah: a) dapat mengantarkan kita pada isolasi diri, b)dapat mengantarkan kita menjadi orang yang takut menghadapi resiko hidup, c) dapat mengantarkan kita pada kesulitan dalam membuat keputusan atau sasaran hidup yang tepat, d) dapat mengantarkan kita pada kesalahan dalam menilai diri (overestimate), e) dapat mengantarkan kita menjadi orang kerdil yang sulit mempercayai orang lain.
( Sumber Internet )

Purifikasi Konsentrasi

Purifikasi Konsentrasi

Oleh: Ubaydillah, AN
Jakarta, 20 Desember 2006
Kenapa kosentrasi itu penting?
Kalau dijawab dengan menggunakan teori dan praktek yang sudah umum, mungkin penjelasan yang bisa diterima adalah antara lain:
1. Kecepatan
Kemampuan kita dalam berkonsentarsi akan mempengaruhi kecepatan dalam menangkap materi yang kita butuhkan. Seorang pelajar / mahasiswa yang punya kemampuan bagus dalam berkonsentrasi akan lebih cepat bisa menangkap materi yang seharusnya ia serap. Seorang karyawan yang bisa berkonsentrasi, ia akan cepat menangkap (menguasai) berbagai jenis keahlian yang ia butuhkan. Seorang olahragawan yang bisa berkonsentrasi dengan bagus akan lebih cepat dalam menguasi tehnik-tehnik dan jurus-jurus yang ia butuhkan untuk menjadi bintang. Saking pentingnya konsentrasi ini, Kurt Vonnegut pernah menulis begini: “The secret to success in any human endeavor is total concentration”.

2. Kekuatan
Konsentrasi, adalah sumber kekuatan. Apa hubungannya antara konsentrasi dengan kekuatan? Satu dari sekian penjelasan yang bisa menggambarkannya itu adalah cara kerja pikiran. Konon, pikiran kita akan bekerja berdasarkan “ingat” dan “lupa”. Pikiran kita tidak bisa bekerja untuk lupa dan untuk ingat dalam satu waktu. Lupa dan ingat akan dilakukan secara bergantian dalam tingkat kecepatan yang sangat maha super. Kalau anda ingat kebaikan orang, saat itu juga kita melupakan kejelekannya. Sebaliknya, kalau kita mengingat kejelekannya, maka saat itu juga kita melupakan kebaikannya. Teori Neouroscience-nya mengatakan bahwa otak manusia ini berubah sesuai dengan penggunaan. Kemana kita mengarahkan konsentrasi akan diikuti dengan perubahan struktur fisik otak itu (Neuroscience, Funderstanding, 1998-2001)


Kaitannya dengan katahanan seseorang terletak pada porsi dan frekuensinya. Kalau pikiran ini lebih sering kita gunakan untuk mengingat atau melihat hal-hal positif dari diri kita, dari keadaan dan dari orang lain di sekitar kita, maka kesimpulan yang tercetak di dalam diri kita adalah kesimpulan positif. Kalau sudah kesimpulan ini yang terbentuk, maka energi yang muncul adalah energi positif. Kekuatan dalam menghadapi kerasnya kenyataan hidup ini terkait dengan energi positif. Berdasarkan pengalamannya, Bruce Lee menyimpulkan bahwa seorang jagoan itu sebenarnya adalah manusia biasa. Bedanya adalah kemampuannya dalam menggunakan konsentrasi seperti sinar laser.
Contoh yang dekat itu misalnya kita gagal, entah itu gagal masuk UMPTN atau gagal masuk kerja. Jika yang kita ingat dan yang kita lihat adalah sisi-sisi yang mengecewakan dari kegagalan itu dan dari keadaan itu, maka sekuat apapun fisik kita pasti akan terasa berat untuk melangkah ke opsi lain. Akan beda rasanya ketika kita masih bisa melihat opsi dan alternatif lain atau bisa mengingat-ingat tujuan hidup kita dalam potret yang lebih besar (perspektif jangka panjang).
Meski kegagalan itu tetaplah kegagalan, tetapi energi yang keluar dari diri kita berbeda. Yang satu menambah kekuatan dan yang satunya malah mengurangi kekuatan. Untuk bisa mengingat yang positif, untuk bisa cepat melupakan hal yang negatif, dan untuk bisa melihat yang positif, tentu ini terkait dengan kemampuan berkonsentrasi. Mahatma Gandhi menggunakan teknik “ingat” dan “lupa” untuk memperkuat perjuangannya. Ketika dirinya hampir mau putus asa menghadapi penjajahan, Gandhi kemudian memprogram pikirannya untuk ingat bahwa perjuangan menegakkan kebenaran itu selalu akan berakhir menang meski kelihatannya kalah di babak awal.
Dengan kata lain, ketahanan seseorang itu tidak semata-mata terkait dengan kekuatan fisiknya. Bukti-bukti yang ada lebih sering menunjukkan bahwa ketahanan itu terkait dengan kemana seseorang memfokuskan konsentrasinya. Konsentrasi, karena itu disebut sumber kekuatan. Kalau anda melihat kesulitan sebagai sebagai kesulitan, ini rasanya seperti bara api. Tapi kalau kita melihat kesulitan sebagai rangkaian yang terpisahkan dari tujuan yang kita inginkan, ini rasa-batinnya akan beda. Kesulitan di sini kita anggap sebagai tantangan (challenge), bukan sebagai tekanan (pressure and tense).


3. Keseimbangan
Semakin bagus kemampuan Anda dalam berkonsentrasi, maka semakin cepat Anda bisa menangkap signal dari dalam diri tentang apa yang kurang, apa yang kebablasan, apa yang perlu dilakukan atau apa yang perlu dihindari, apa yang baik dan apa yang tidak baik. Dengan ini semua maka hidup kita cepat seimbang atau stabil. Sopir yang punya kemampuan berkonsentrasi bagus akan tajam sensitivitasnya. Kalau membaca penjelasan para ahli seputar Kecerdasan Multiple (Multiple Intelligence), konsentrasi ini terkait dengan apa yang mereka sebut dengan istilah Intra-personal intelligence, yaitu: kemampuan seseorang untuk bisa “connect” dengan dirinya (Seven Ways of Knowing: Teaching for Multiple Intelligences, David Lazear. 1991)
Temuan di bidang olahraga (Calming The Mind So The Body Can Perform, Robert M. Nideffer, Ph.D., 1995) mengungkap bahwa seorang atlet yang “being in zone” memiliki kualitas antara lain:

§ Punya perasaan dapat mengontrol dirinya secara penuh dan punya kepercayaan diri lebih kuat
§ Bisa memperkirakan apa yang akan terjadi dalam pertandingan sebelum benar-benar terjadi
§ Waktu berjalan secara normal
§ Objek tampak lebih luas dan tampak lebih gamblang (pandangan yang cerah)
§ Bisa beraksi dengan usaha yang tidak terlalu memeras keringat (semua berjalan secara “flow”)
§ Munculnya rasa senang / riang
§ Bisa menampilkan kualitas permainan yang melebih harapan

Jadi, konsentrasi adalah penggunaan yang proporsional terhadap pikiran untuk bisa fokus pada sasaran yang kita inginkan. Ini berarti konsentrasi itu adalah jalan-tengah (the proper way) di antara dua sisi yang ekstrim, yaitu: distraksi dan “tensi” (tension). Kalau kita tegang, biasanya bukan konsentrasi yang muncul, tetapi adalah over-concentration (pandangan sempit). Sebaliknya, bila kita terkena distraksi: sesuatu yang tidak penting, tidak mendesak dan tidak prioritas untuk kita pikirkan, maka ini adalah under-concentration (ngelantur).
Sebab-sebab
Apa yang menyebabkan seseorang sulit berkonsentrasi? Wah, sebab-sebabnya tentu banyak. Ini terkait dengan lapisan yang menyusun diri kita. Ada lapisan raga dan ada lapisan jiwa. Jika raga kita bermasalah, katakanlah sakit gigi, ini juga bisa mengganggu konsentrasi. Begitu juga kalau kita lapar atau belum ngopi bagi yang sudah kecanduan. Namun begitu, jika masalah ini sudah berlanjut (akut), umumnya ini terkait dengan soal jiwa (batin). Inipun terkadang sulit dimutlakkan dengan satu penjelasan. Karena itu, di bawah ini saya mencoba merangkum beberapa penjelasan yang mudah-mudahan relevan dengan apa yang anda rasakan:

1. Gangguan keseimbangan emosional
Berbagai studi telah mengungkap bahwa stress, distress, depresi dan lain-lain bisa merusak memori (impaired memory) dan konsentrasi (inability to concentrate). Kalau kita kembalikan ke awal (akar), munculnya berbagai gangguan mental itu terkait dengan persoalan pola hidup sehat (positif). Ini sepertinya sudah semacam “hukum alam”. Semakin banyak pikiran negatif, sikap negatif, atau tindakan negatif yang kita biarkan, ya semakin rentan kita terhadap berbagai gangguan itu. Apa ada orang yang selalu positif? Tentu tidak ada. Yang membedakan adalah kemampuan “membersihkan” diri. Konon, 60-75 % penyakit fisik itu terkait dengan soal pikiran yang tidak sehat.

2. Kekosongan emosi
Mahasiswa / pelajar yang sudah tidak memiliki alasan kuat kenapa melanjutkan sekolah, apa targetnya, apa tujuan besarnya, apa program-program pribadinya untuk mencapai target itu, akan cenderung mudah merasa kosong batinnya, hambar hidupnya, atau kecil kepeduliaannya terhadap statusnya sebagai pelajar. Kalau sudah begini, konsentrasi belajar pun rendah. Peduli akan memunculkan kemauan yang keras. Kemauanlah yang membuat hidup kita dinamis, selalu terisi dari waktu ke waktu.
Begitu juga dengan pasangan rumah tangga yang sudah tidak jelas lagi alasan-alasannya, arahnya, program-programnya. Kekosongan batin ini kerap mereduksi konsentrasi dalam membangun keluarga (to develop). Kalau konsentrasi terus menurun, ya tentunya banyak penyimpangan yang muncul. Ini bisa dari yang masih berstadium rendah sampai ke yang berstadium tinggi, misalnya saja perceraian atau kehampaan rasa ber-rumah-tangga.

3. Manajemen pikiran
Konon, pikiran kita itu memproduksi 60.000 –an percikan pemikiran (thought) dalam setiap harinya. Jumlah yang sebanyak itu tentu ada yang melawan dan ada yang mendukung. Nah, supaya bisa mendukung, maka dibutuhkan manajemen. Salah satu unsur manajemen yang paling mendasar di sini adalah kemampuan menangkap (catching). Menangkap di sini maksudnya kita mengetahui apa yang dikerjakan oleh pikiran kita. Kita menyadari apa yang sedang dipikirkan oleh pikiran kita.
Kalau kita sedang mendengarkan ceramah dosen lalu pikiran kita ngelantur kemana-mana dan kita pun tidak menyadarinya, ya pasti saja ngelanturnya kebablasan. Tapi jika kita cepat mengetahui dan menyadari, ya kita akan cepat bisa mengalihkannya. Artinya, konsentrasi kita bisa rusak lantaran kita tidak cepat mengetahui dan menyadari apa yang sedang dipikirkan oleh pikiran kita.
Bagaimana Mengasah Ketajaman Konsentrasi?
Seperti yang sudah kita bahas, bahwa penyebab menurunnya konsentrasi itu seabrek. Namun begitu, jika kita merasa apa yang sudah kita bahas itu relevan dengan masalah yang kita hadapi, mungkin kita bisa melakukan latihan (drill) di bawah ini:

1. Perjelas target Anda
Target di sini banyak kegunaannya. Selain akan menjadi bimbingan, ia pun bisa mendinamiskan hidup. Dikatakan bimbingan karena kita tidak bisa menyuruhkan pikiran ini berkonsentrasi kalau tidak ada sasarannya. Target adalah sasaran untuk dipikirkan oleh pikiran kita. Pikiran yang kita gunakan untuk memikirkan sasaran demi sasaran akan membuat hidup dinamis. Orang yang hidupnya dinamis dengan target-target yang dimiliki akan jauh dari gangguan dan kekosongan emosi. Jadi, beri tugas pada pikiran untuk memikirkan sasaran, program atau target yang Anda buat.

2. Lakukan dan libatkan
Tentu tidak cukup dengan hanya membuat program atau target di atas kertas. Agar target itu benar-benar bermanfaat dalam membimbing dan mendinamiskan, ya dibutuhkan disiplin diri dalam menjalankannya. Lakukan sesuatu yang dapat mendekatkan anda dengan target yang Anda buat. Selain melakukan sesuatu, hal yang terpenting di sini adalah melibatkan diri pada lingkungan yang pas dengan kita (environment system).

Temukan orang lain yang kira-kira bisa membuat Anda selalu “connect” dengan program atau target Anda. Temukan lingkungan yang sejiwa dengan Anda. Kalau Anda punya target ingin jago di IT, misalnya, tetapi Anda tidak mengenal orang IT, tidak masuk komunitas IT, jauh dari masyarakat IT, ya tentu saja konsentrasi Anda kurang mendapat dukungan. Pedagang ber-komunitas dengan pedagang. Olahragawan atau seniman ber-komunitas dengan orang-orang yang sejiwa dengan mereka. Anda pun perlu mencontoh begitu.

3. Sering-sering berkomunikasi dengan diri sendiri
Ini misalnya menyepi (bukan menyendiri). Menyepi di sini maksudnya Anda memberi ruang dan kesempatan untuk diri sendiri supaya berbicara dengan diri sendiri, self-dialog, self-talk, meditasi, evaluasi, koreksi, refleksi, dan lain-lain. Ini berarti kita tidak perlu ke gunung untuk menyepi. Menyepi dalam pengertian yang luas bisa kita lakukan di tengah keramaian, misalnya di kampus, di kendaraan umum, di perpustakaan, dan lain-lain.
Yang penting esensinya di sini adalah kita “ingat” pada diri kita, memikirkan diri kita, memikirkan target kita, memikiran apa yang sudah kita lakukan. Banyak orang yang hampir tidak pernah memikirkan dirinya dalam arti yang positif. Dari pagi sampai malam yang dipikirin orang lain, ingat orang lain, ngobrol ke sana ke mari tentang orang lain, dan seterusnya. Mestinya yang bagus adalah seimbang.

4. Ciptakan sarana (mean)
Ini bisa dilakukan dengan membuat tulisan, catatan, gambar atau apa saja yang memudahkan kita mengingat dan melihat target, program atau bidang-bidang yang penting menurut kita. Ini bisa kita taruh di buku, di meja, di HP, di komputer, dan lain-lain. Artinya, ciptakan sarana yang membuat pikiran ini mudah melihat dan mengingat. Temukan acara teve atau radio yang mendukung agenda. Baca buku atau koran atau majalah yang mendukung. Temui orang yang bisa diajak ngobrol tentang apa yang kita pikirkan.

5. Tingkatkan kepedulian

Peduli terhadap diri sendiri berbeda pengertiannya dengan mementingkan diri sendiri. Peduli di sini artinya kita berperan seoptimal mungkin berdasarkan status kita. Pelajar yang peduli adalah pelajar yang berusaha berperan seoptimal mungkin sebagai pelajar: ya belajar, ya berorganisasi, ya demo secara positif, ya bergaul, ya mau menghormati guru / dosen, ya macam-macam. Karyawan yang peduli adalah karyawan yang berperan seoptimal mungkin berdasarkan status dirinya sebagai karyawan: ya belajar, ya bisa menerima bimbingan, ya bekerja keras, ya belajar bekerja cerdas, ya tidak ngambek-kan, ya macam-macam.
Kenapa peduli ini penting? Alasannya, ketika kita menolak peranan yang seharusnya kita lakukan berdasarkan status kita, maka yang muncul adalah konflik di batin, stress, depresi, distress, dan lain-lain. Ini biasanya diikuti oleh rombongannya, katakanlah seperti: keinginan yang tidak realistis dan akurat, pikiran yang tidak jelas fokus dan sasarannya, hasil yang tidak pasti, munculnya pikiran-pikiran negatif terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan terhadap keadaan.
Meski kita sering mengasosiasikan konsentrasi itu dengan cara kerja pikiran, tetapi kalau perasaan kita terluka atau terganggu, akibatnya pikiran juga terganggu. Banyak hal yang tidak bisa kita pikirkan dan tidak bisa kita lakukan dengan bagus karena kita sedang menyimpan perasaan yang tidak bagus. Benar nggak begitu? Semoga ini bermanfaat.
( Sumber Internet )